Berkali-kali ia mencoba mengajukan bantuan atau penghargaan kepada instansi daerah, namun tak pernah kunjung dikabulkan. Kehidupannya jauh dari layak.
Sementara untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia dan istrinya harus memulung plastik dan kayu dari dini hari hingga sore.
Dalam sehari, pendapatannya tak lebih dari 30 ribu, jauh dari kata cukup, terlebih untuk seorang seniman yang namanya pernah dipanggil ke panggung nasional.
“Kalau ada festival, saya dipanggil. Tapi hari-hari, saya jalan cari barang bekas. Gaji dari pemerintah? Enggak ada. Pernah minta, tiga kali, enggak turun-turun,” jelasnya sendu.
Baru pada 2023, secercah cahaya datang dari pemerintah pusat. Ia menerima penghargaan nasional atas dedikasinya dalam pelestarian budaya Betawi, lengkap dengan dana apresiasi dan bantuan penghasilan untuk bertahan hidup.
Selain tak pernah mengeluh, ia juga tetap mengajar siapa saja yang ingin belajar tehyan, mulai dari anak kecil, mahasiswa, hingga guru seni dari luar kota. Semua ia terima dengan tangan terbuka, tanpa bayaran.
“Yang penting dia bisa. Mau kasih, silahkan. Enggak kasih, saya ikhlas,” ucapnya dengan senyum yang tulus.
Rumah yang kini ia tempati pun adalah hasil bantuan organisasi sosial, setelah sebelumnya hampir roboh dimakan usia. Disana, ia tinggal bersama istri dan anak perempuannya.
Meski usia tak lagi muda, ia tetap bangun pukul empat pagi, membawa karung, menyusuri jalan demi lembaran rupiah yang bisa ia tukar dengan sebotol air galon atau sekantong beras.
Setiap kali ada festival budaya, ia turut hadir. Setiap kali ada peringatan nasional, ia dipanggil. Ia menjadi wajah budaya Betawi yang tak pernah absen. Namun, di luar sorotan panggung, hidupnya sunyi dari perhatian.
“Saya bukan minta dihormati. Saya cuma ingin budaya ini jangan punah. Tapi kalau pemerintah bisa perhatikan, itu lebih baik,” ucapnya.