POSKOTA.CO.ID - Sejarah etnis Betawi kerap menjadi perdebatan panjang di kalangan pemerhati budaya Nusantara. Banyak kalangan beranggapan Betawi merupakan cabang atau varian dari suku Melayu karena penggunaan bahasa dan beberapa unsur budaya yang mirip. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya akurat jika dikaji melalui perspektif sejarah kolonial dan perkembangan sosial masyarakat Jakarta.
Penamaan Betawi sendiri sesungguhnya berasal dari kata Batavia, yakni nama yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada kota pelabuhan penting yang kemudian menjadi Jakarta. Sebutan Betawi bukanlah nama asli suatu suku bangsa yang telah lama eksis, melainkan konstruksi identitas yang muncul karena dinamika interaksi multietnik di pusat kolonial Hindia Belanda.
Menurut kajian C.D. Grijns pada tahun 1970 dalam survei tentang suku dan bahasa asli Jakarta, hampir separuh responden ketika itu masih menyebut dirinya sebagai suku Melayu. Sementara 27% menyatakan sebagai suku Jakarta, 14% mengidentifikasi sebagai suku Sunda, dan hanya sebagian kecil yang menyebut diri sebagai Betawi asli.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kesadaran etnis Betawi belum mapan secara kolektif meskipun label Betawi telah resmi digunakan sejak 1930-an.
Baca Juga: Sejarah Jakarta: Tujuh Kali Ganti Nama dari Mulai Zaman Sunda Kalapa hingga Zaman Kolonial
Proses Dimelayukannya Orang-Orang Pasundan dan Multietnis Batavia
Penting dicatat bahwa Batavia dan kelak Jakarta pada dasarnya adalah wilayah Pasundan. Sebelum kedatangan Belanda, kawasan pesisir utara Jawa Barat ini merupakan bagian dari kekuasaan politik dan budaya Sunda. Ketika VOC berkuasa, berbagai etnik Nusantara, mulai dari Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, hingga Tionghoa, didatangkan ke Batavia untuk menjadi buruh, pedagang, dan pekerja jasa.
Belanda saat itu menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa administrasi dan lingua franca antaretnik. Inilah salah satu faktor utama terjadinya proses “dimelayukannya” banyak komunitas urban Batavia, meskipun identitas etnis asal mereka tetap beragam. Dalam konteks ini, mereka bukan menjadi Melayu dalam pengertian etnis murni, melainkan mengadopsi elemen kebahasaan dan kebudayaan Melayu yang difasilitasi pemerintah kolonial.
Hal ini selaras dengan pendapat sejumlah pakar antropologi yang menegaskan bahwa Melayu adalah nama sebuah kumpulan etnik besar dalam lingkup Austronesia, bukan label untuk semua masyarakat Nusantara yang menggunakan bahasa Melayu sehari-hari. Klaim bahwa Betawi otomatis termasuk Melayu hanya karena faktor bahasa dan sejumlah kesamaan budaya adalah simplifikasi yang tidak mempertimbangkan sejarah pembauran multietnis di Batavia.
Kebangkitan Kesadaran Etnis Betawi di Era Modern
Menariknya, kebangkitan identitas Betawi justru mulai masif setelah budaya Betawi dipopulerkan melalui media nasional, terutama lewat karya seniman seperti Benyamin Sueb, serial Si Doel Anak Sekolahan, dan berbagai pertunjukan lenong. Popularitas budaya Betawi inilah yang mendorong munculnya kebanggaan kolektif untuk menyebut diri sebagai orang Betawi, suatu fenomena yang baru berkembang pesat pada akhir abad ke-20.
Fenomena ini merupakan contoh bagaimana identitas etnis dapat dikonstruksi melalui pengaruh budaya populer. Semula, identitas Betawi relatif cair dan terpecah, sebagaimana terlihat dalam survei Grijns. Namun, eksposur budaya Betawi melalui televisi, radio, dan film telah menciptakan narasi kebersamaan yang menguatkan perasaan sebagai satu kelompok etnis tersendiri.