Deportasi puluhan aktivis ini segera mendapat sorotan dari komunitas global, khususnya kelompok pro-Palestina dan lembaga hak asasi manusia.
Mereka menganggap tindakan Mesir sebagai bentuk pembungkaman terhadap gerakan damai dan sebagai bentuk penghambatan terhadap upaya internasional menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
"Ini bukan sekadar soal dokumen atau izin administratif. Ini adalah bentuk represi terhadap suara solidaritas global yang menolak penindasan dan penjajahan," ujar salah satu perwakilan organisasi kemanusiaan asal Eropa yang aktivisnya turut dideportasi.
Baca Juga: Bukan Terlibat Demo, Ini Penyebab 2 WNI Ditangkap di Los Angeles Amerika Serikat
Dukungan Publik vs Kebijakan Negara
Masyarakat Mesir secara umum menunjukkan simpati kuat terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Dukungan tersebut kerap terlihat dalam berbagai aksi solidaritas, baik secara daring maupun luring.
Namun, ketegangan antara aspirasi publik dan kebijakan pemerintah kerap kali menjadi sumber kontroversi.
Meski tekanan internasional terus meningkat, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyerukan gencatan senjata permanen dan menghentikan penggunaan kelaparan sebagai senjata perang, implementasi langkah konkret dari negara-negara kawasan, termasuk Mesir, masih dinilai minim.
Harapan untuk Solidaritas Kemanusiaan
Para aktivis dan kelompok masyarakat sipil berharap agar Mesir dapat mengambil sikap lebih terbuka terhadap aksi-aksi damai dan kemanusiaan.
Mereka menekankan bahwa inisiatif seperti Global March to Gaza bukan semata-mata bentuk protes politik, tetapi juga merupakan respons terhadap krisis kemanusiaan akut yang dialami penduduk Gaza.
Konflik berkepanjangan di Gaza tidak hanya berdampak pada wilayah tersebut, tetapi juga menjadi cerminan dinamika geopolitik Timur Tengah.
Dalam situasi seperti ini, peran negara-negara seperti Mesir sangat krusial, tidak hanya sebagai penengah diplomatik, tetapi juga sebagai fasilitator solidaritas kemanusiaan lintas batas.