Izin Tambang Nikel di Raja Ampat Memicu Polemik, Siapa Saja Aktor yang Bermain di Balik Layar?

Selasa 10 Jun 2025, 15:47 WIB
Ini 5 perusahaan yang dapat izin tambang nikel di Raja Ampat, Papua. (Sumber: Greenpeace Indonesia)

Ini 5 perusahaan yang dapat izin tambang nikel di Raja Ampat, Papua. (Sumber: Greenpeace Indonesia)

POSKOTA.CO.ID - Isu kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Papua mendapatkan banyak sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir.

Raja Ampat, salah satu ekosistem laut terkaya di dunia, kini menjadi sorotan karena aktivitas pertambangan yang mulai merambah wilayahnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan daftar lima perusahaan yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di beberapa pulau utama di Papua Barat Daya.

Meski seluruh aktivitas tersebut dilandasi legalitas formal, muncul kekhawatiran serius terkait dampak ekologis dan sosial di wilayah yang diakui dunia karena kekayaan hayatinya.

Baca Juga: Ini Alasan Izin Tambang PT GAG Nikel Tak Dicabut, Bahlil: Perintah Presiden Harus Tetap Diawasi

Lima Pulau Strategis dan Lima Korporasi

Berdasarkan data resmi ESDM yang dirilis pada 8 Juni 2025, lima perusahaan mengantongi izin untuk menambang nikel di lima pulau utama: Pulau Gag, Pulau Manuran, Pulau Batang Pele, Pulau Kawe, dan Pulau Waigeo.

Dua dari lima perusahaan mendapat izin dari pemerintah pusat, sementara tiga lainnya mendapatkan persetujuan dari pemerintah daerah Kabupaten Raja Ampat.

1. PT Gag Nikel – Pulau Gag

PT Gag Nikel merupakan pemegang Kontrak Karya Generasi VII yang telah memasuki tahap Operasi Produksi. Luas konsesi tambang mencapai 13.136 hektar.

Perusahaan ini telah memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sejak 2014, dan melakukan adendum pada 2022 serta 2023.

Proyeksi pembukaan tambang hingga 2025 mencapai 187,87 hektar, dan telah direklamasi sekitar 135 hektar. Namun, kegiatan pembuangan limbah belum dapat dilakukan karena belum diterbitkannya Sertifikat Laik Operasi (SLO).

2. PT Anugerah Surya Pratama (ASP) – Pulau Manuran

PT ASP mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dari pemerintah pusat dengan masa berlaku hingga 2034. Wilayah operasinya mencakup 1.173 hektar dan memiliki dokumen AMDAL serta UKL-UPL sejak tahun 2006.

Baca Juga: Kenapa Pemerintah Resmi Cabut Izin Tambang Empat Perusahaan di Raja Ampat? Ini Alasannya

Sementara itu, tiga perusahaan lainnya beroperasi berdasarkan izin yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat:

1. PT Mulia Raymond Perkasa - Pulau Batang Pele

Perusahaan ini memegang IUP Eksplorasi sejak 2013 dan mencakup wilayah seluas 2.193 hektar. Hingga kini masih berada pada tahap pengeboran eksploratif dan belum memiliki dokumen AMDAL.

2. PT Kawei Sejahtera Mining - Pulau Kawe

Mengantongi IUP dengan cakupan 5.922 hektar, perusahaan ini telah memperoleh izin penggunaan kawasan hutan (IPPKH) dan memulai produksi sejak 2023. Namun, aktivitas tambang saat ini tidak berlangsung secara aktif.

3. PT Nurham - Pulau Waigeo

Dengan luas wilayah 3.000 hektar, PT Nurham telah mengantongi IUP sejak awal 2025 dan memiliki persetujuan lingkungan sejak 2013. Meski demikian, belum ada kegiatan produksi hingga pertengahan 2025.

Baca Juga: Detik-detik Haru di Tanah Suci, Suami Lansia Melepas Istri Tercinta untuk Selamanya

Dilema Konservasi dan Pertambangan

Raja Ampat selama ini dikenal dunia sebagai kawasan konservasi laut global, dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.

Aktivitas industri ekstraktif seperti pertambangan dinilai bertentangan dengan upaya konservasi yang selama ini dijalankan oleh berbagai pihak, termasuk masyarakat adat dan organisasi lingkungan internasional.

Kekhawatiran muncul karena tambang nikel, meskipun menyuplai kebutuhan energi bersih dunia seperti baterai kendaraan listrik, justru berpotensi menimbulkan kerusakan yang tidak bisa diperbaiki.

Erosi, pencemaran air, kehilangan tutupan hutan, dan rusaknya ekosistem pesisir menjadi ancaman nyata.

Peran masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga alam Raja Ampat pun kerap kali dikesampingkan dalam proses pengambilan keputusan.

Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam proses konsultasi AMDAL atau adendum lingkungan membuat proses perizinan dinilai tidak inklusif.

Tanggung Jawab Pemerintah dan Korporasi

Keberadaan izin resmi tidak serta-merta menjamin keberlanjutan praktik pertambangan di wilayah sensitif seperti Raja Ampat.

Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk tidak hanya menerbitkan izin, tetapi juga melakukan pengawasan ketat terhadap kepatuhan korporasi dalam aspek lingkungan dan sosial.

Penerbitan IPPKH dan dokumen AMDAL harus disertai dengan pemantauan lapangan secara berkala, serta transparansi data kepada publik.

Selain itu, reklamasi dan pascatambang harus menjadi komitmen utama, bukan sekadar formalitas administratif.

Korporasi pun diharapkan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, termasuk pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal tanpa merusak warisan alam yang tak tergantikan.


Berita Terkait


News Update