Siapa Pemilik Tambang Nikel di Raja Ampat? Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Sebut Ada 5 IUP, Salah Satunya PT Gag Nikel

Jumat 06 Jun 2025, 09:15 WIB
Tambang nikel di Raja Ampat milik siapa? Bahlil Lahadalia ungkap perusahaannya. (Sumber: Greenpeace Indonesia)

Tambang nikel di Raja Ampat milik siapa? Bahlil Lahadalia ungkap perusahaannya. (Sumber: Greenpeace Indonesia)

POSKOTA.CO.ID - Polemik tambang nikel di Raja Ampat, Papua kini sedang disorot usai muncul isu lingkungan terhadap kerusakan ekologis.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkap keberadaan lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif di kawasan yang dikenal sebagai surga biodiversitas dunia itu.

Wacana penambangan ini menuai kecaman luas, baik dari aktivis lingkungan, akademisi, maupun masyarakat umum yang menyerukan penghentian aktivitas tambang melalui tagar #SaveRajaAmpat.

Menurut pernyataan resmi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, terdapat lima perusahaan yang memiliki IUP untuk komoditas nikel di Raja Ampat.

Baca Juga: Menteri ESDM Hentikan Sementara Operasi Tambang Nikel di Pulau Gag Raja Ampat

Dari lima perusahaan tersebut, hanya satu yang hingga kini telah beroperasi secara aktif, yakni PT GAG Nikel.

"Dari lima IUP yang tercatat, hanya satu perusahaan yang saat ini beroperasi, yaitu PT GAG Nikel," ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta.

PT GAG Nikel merupakan perusahaan patungan antara dua entitas: perusahaan asal Australia, Asia Pacific Nickel Pty Ltd, dan perusahaan pelat merah Indonesia, PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yang memegang 25 persen saham.

Isu ini mencuat ke ruang publik setelah organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia mempublikasikan desakan agar pemerintah mencabut seluruh izin tambang yang berlaku di Raja Ampat.

Baca Juga: Milik Siapa Tambang Nikel di Raja Ampat Papua? Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Ungkap Daftarnya

Greenpeace menilai bahwa aktivitas pertambangan di kawasan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta membahayakan ekosistem pesisir dan laut yang menjadi daya tarik utama Raja Ampat.

"Raja Ampat adalah kawasan lindung dengan nilai ekologi yang tinggi. Penambangan nikel di wilayah ini bukan hanya tidak etis, tetapi juga melanggar hukum dan dapat mengakibatkan kehancuran ekologis yang tidak dapat dipulihkan," tulis Greenpeace dalam unggahan resminya di akun Instagram @greenpeaceid.

Kawasan Raja Ampat telah lama diakui sebagai situs penting keanekaragaman hayati laut dunia.

Menurut data dari lembaga konservasi internasional, wilayah ini menjadi habitat bagi lebih dari 1.500 spesies ikan, 550 jenis karang, serta berbagai spesies langka seperti dugong dan penyu hijau.

Baca Juga: Siapa Arya Arditya Plt Direktur PT Gag Nikel yang Disorot dalam Isu Dampak Tambang di Raja Ampat? Segini Kekayaannya

Selain itu, Raja Ampat juga menjadi tulang punggung ekowisata Indonesia yang berkontribusi terhadap ekonomi lokal.

Gelombang penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat tidak hanya datang dari organisasi lingkungan.

Sejumlah publik figur, aktivis, hingga konten kreator turut menyuarakan penolakan mereka di media sosial.

Tagar #SaveRajaAmpat menjadi trending topic nasional selama beberapa hari terakhir, menunjukkan kuatnya kepedulian masyarakat terhadap isu ini.

Menanggapi polemik tersebut, Bahlil menyebut bahwa mayoritas izin tambang di Raja Ampat telah terbit sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri ESDM.

Namun, ia juga menegaskan komitmen pemerintah dalam mengevaluasi kembali izin-izin yang bermasalah atau tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.

"Kami akan meninjau kembali seluruh izin yang ada, khususnya jika terbukti berada di kawasan konservasi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar Bahlil.

Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu juga menegaskan pentingnya hilirisasi industri tambang sebagai bagian dari strategi nasional.

Namun menurutnya implementasi kebijakan ini harus tetap memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.

"Indonesia tidak boleh hanya menjadi eksportir bahan mentah. Tapi kita juga tidak boleh mengorbankan alam dan masa depan generasi mendatang," kata dia.

Meski demikian, hingga artikel ini ditulis, pemerintah belum mengumumkan langkah konkret apakah akan mencabut, membekukan, atau mempertahankan lima IUP yang ada di wilayah Raja Ampat.

Masyarakat dan organisasi sipil pun terus menanti tindakan nyata dari pemerintah, sembari berharap agar suara-suara penyelamatan lingkungan tidak hanya berhenti sebagai wacana publik, tetapi menjadi pijakan kebijakan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Dengan pertaruhan masa depan Raja Ampat sebagai 'surga terakhir di bumi', polemik tambang nikel ini menjadi batu ujian bagi komitmen Indonesia dalam menjaga kekayaan alamnya di tengah tuntutan pertumbuhan ekonomi.


Berita Terkait


News Update