"Raja Ampat adalah kawasan lindung dengan nilai ekologi yang tinggi. Penambangan nikel di wilayah ini bukan hanya tidak etis, tetapi juga melanggar hukum dan dapat mengakibatkan kehancuran ekologis yang tidak dapat dipulihkan," tulis Greenpeace dalam unggahan resminya di akun Instagram @greenpeaceid.
Kawasan Raja Ampat telah lama diakui sebagai situs penting keanekaragaman hayati laut dunia.
Menurut data dari lembaga konservasi internasional, wilayah ini menjadi habitat bagi lebih dari 1.500 spesies ikan, 550 jenis karang, serta berbagai spesies langka seperti dugong dan penyu hijau.
Selain itu, Raja Ampat juga menjadi tulang punggung ekowisata Indonesia yang berkontribusi terhadap ekonomi lokal.
Gelombang penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat tidak hanya datang dari organisasi lingkungan.
Sejumlah publik figur, aktivis, hingga konten kreator turut menyuarakan penolakan mereka di media sosial.
Tagar #SaveRajaAmpat menjadi trending topic nasional selama beberapa hari terakhir, menunjukkan kuatnya kepedulian masyarakat terhadap isu ini.
Menanggapi polemik tersebut, Bahlil menyebut bahwa mayoritas izin tambang di Raja Ampat telah terbit sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri ESDM.
Namun, ia juga menegaskan komitmen pemerintah dalam mengevaluasi kembali izin-izin yang bermasalah atau tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.
"Kami akan meninjau kembali seluruh izin yang ada, khususnya jika terbukti berada di kawasan konservasi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar Bahlil.
Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu juga menegaskan pentingnya hilirisasi industri tambang sebagai bagian dari strategi nasional.