POSKOTA.CO.ID - Dalam lanskap politik lokal Indonesia yang makin dipengaruhi oleh dinamika media sosial, figur publik seperti Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjadi representasi gaya kepemimpinan yang “populis” dan “digital-minded.”
Julukan “Gubernur Konten” yang dilontarkan oleh Gubernur Kalimantan Timur, Rudi Mas’ud, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPR RI, memicu percakapan luas di ruang publik digital.
Ucapan tersebut, yang awalnya disampaikan dalam nada santai dan penuh pujian, mendadak viral. Banyak warganet menafsirkannya sebagai sindiran terhadap kepemimpinan yang lebih fokus pada pencitraan ketimbang substansi. Namun benarkah demikian?
Baca Juga: Panduan Lengkap Membuat Akun SSCASN dan Persiapan Pendaftaran CASN 2025, Intip Selengkapnya di Sini!
Pujian atau Sindiran? Klarifikasi Rudi Mas’ud
Rudi Mas’ud, dalam pernyataan klarifikasinya kepada media, menegaskan bahwa sebutan “Gubernur Konten” yang disematkannya kepada Dedi Mulyadi bukanlah bentuk kritik atau sindiran.
Ia menjelaskan bahwa Dedi adalah sahabat sekaligus rekan seperjuangan politik di Partai Golkar, dan dirinya justru mengagumi konsistensi Dedi dalam menghadirkan konten edukatif dan inspiratif di media sosial.
“Kang Dedi itu sahabat saya. Kami sama-sama berasal dari Partai Golkar. Ucapan saya itu untuk memuji kerja keras beliau dalam menginspirasi masyarakat melalui konten-konten yang beliau unggah,” kata Rudi Mas’ud.
Ia menambahkan bahwa pemanfaatan media sosial oleh Dedi Mulyadi telah berhasil membangun komunikasi yang lebih efektif antara pemerintah dan masyarakat, sesuatu yang patut diapresiasi di era digital saat ini.
Gaya Kepemimpinan Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi memang dikenal sebagai sosok kepala daerah yang aktif membagikan kegiatan pemerintahan, program sosial, hingga interaksi langsung dengan warga di berbagai kanal seperti TikTok dan YouTube.
Dalam berbagai video, ia kerap tampil merakyat, turun langsung ke lapangan, hingga memberikan solusi spontan atas masalah warga.
Pendekatan ini membuatnya sangat populer, khususnya di kalangan milenial dan generasi Z. Namun, kepopuleran ini juga menghadirkan konsekuensi gaya komunikasi yang bersifat naratif dan visual terkadang menimbulkan anggapan bahwa Dedi lebih menekankan citra ketimbang kebijakan substantif.