POSKOTA.CO.ID - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) resmi menyidangkan 97 perusahaan pinjaman online (pinjol) yang diduga melakukan praktik kartel bunga. Dari penyelidikan awal, enam di antaranya teridentifikasi sebagai pelaku utama yang paling aktif dalam pengaturan bunga secara kolektif.
Dilansir dari channel YouTube Desi Sutriani pada Kamis, 1 Mei 2025. Ketua KPPU, Fanshurullah Asa, menyatakan bahwa penyelidikan ini menemukan indikasi pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
“Ada dugaan bahwa beberapa pelaku usaha pinjol ini secara bersama-sama menetapkan plafon bunga harian yang tinggi melalui kesepakatan internal dalam asosiasi,” Dikutip dari video YouTube Desi Sutriani.
Ia menambahkan, dugaan ini mengarah pada keterlibatan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebagai fasilitator kesepakatan internal tersebut. Bunga yang ditetapkan, menurut KPPU, tidak mengacu pada regulasi resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca Juga: Daftar Pinjol Tanpa SLIK OJK, Apakah Aman dan Legal?
Dalam laporan tersebut, enam pinjol dengan dominasi pasar tertinggi adalah Kredit Pintar (13 persen), Asetku (11 persen), Modalku (9 persen), Kredit Fast (7 persen), Easy Cash (6 persen), dan AdaKami (5 persen).
Kredit Pintar disebut sebagai pelaku dengan penguasaan pasar terbesar sekaligus diduga paling aktif memainkan bunga di atas ketentuan.
Seorang korban pinjol mengungkapkan pengalamannya saat meminjam uang melalui Kredit Pintar. Ia menyebut bahwa dari pinjaman sebesar Rp2.300.000 dengan tenor 3 bulan, yang dicairkan hanya Rp1.955.000 setelah dipotong biaya layanan sebesar Rp300.000. Cicilan bulanannya pun mencapai Rp927.000, yang dinilai terlalu besar jika dihitung dari sisa dana yang diterima.
“Bayangkan, dari Rp1,9 juta yang cair, saya harus mengembalikan hampir tiga juta. Ini jelas bunga mencekik,” ucap pengisi suara channel tersebut.
Baca Juga: Solusi Bebas dari Ketergantungan Pinjol, Cek Selengkapnya
Menurut KPPU, kerugian masyarakat akibat praktik ini mencapai lebih dari Rp1,6 triliun. Jika terbukti bersalah, para pelaku usaha dapat dikenai sanksi administratif berupa denda hingga 50 persen dari keuntungan yang diperoleh selama masa pelanggaran, atau maksimal 10 persen dari total penjualan.