POSKOTA.CO.ID -Nama Kalimasada kembali menggema di ruang digital setelah disebut secara eksplisit oleh investor muda dan konten kreator edukasi keuangan, Timothy Ronald, dalam sesi live streaming bersama Bigmo.
Bukan hanya sekadar sapaan atau trivia, Timothy membeberkan sebuah fakta mengejutkan yang membuat warganet tercekat Kalimasada dikabarkan sudah merokok sejak usia tiga tahun.
Pernyataan ini sontak menghebohkan publik, dan jejak digital Kalimasada pun kembali menjadi bahan perbincangan hangat, baik di TikTok maupun X (dulu Twitter).
Baca Juga: 4 Pencuri Motor Showroom di Serang Diringkus
Bukan Sekadar Kompilasi: Jejak Digital yang Sulit Terlacak
Timothy Ronald tidak hanya sekadar menyebut Kalimasada sebagai partner bisnisnya dalam Akademi Kripto, tapi juga mengungkap sisi masa kecil pria tersebut yang kontroversial. “Kalimasada tuh umur 3 tahun udah ngerokok. Asli, bukan rokok bohongan,” ucap Timothy yang kemudian disambut keterkejutan Bigmo.
Banyak warganet yang mengaku pernah mendengar kabar tersebut, bahkan sebelum Kalimasada dikenal sebagai pendiri Akademi Kripto. Beberapa menyebut bahwa berita ini sempat dimuat di Radar Blitar dalam bentuk cetak, bukan digital.
Namun sayangnya, banyak netizen gagal menemukan kembali sumber berita itu secara daring. Hal ini menjadi bukti bahwa banyak bagian dari jejak digital masyarakat Indonesia yang belum terdokumentasi secara online, terutama berita-berita lokal sebelum era digitalisasi masif.
Kalimasada dan Warisan Viralitas: Apakah Ia Bayi Perokok Termuda di Indonesia?
Muncul pertanyaan penting: apakah Kalimasada benar-benar menjadi bayi perokok termuda di Indonesia?
Hingga artikel ini ditulis, belum ada verifikasi atau data resmi dari otoritas seperti Komnas Perlindungan Anak atau KPAI. Namun, banyak media pada era 2000-an memang sempat memuat kasus serupa, seperti kasus bocah dari Sumatera Selatan yang juga sempat viral karena merokok sejak usia dini.
Kasus Kalimasada, jika memang benar terjadi, menjadi satu dari sekian narasi anak-anak Indonesia yang terjebak dalam konsumsi publik yang problematik, sebelum mereka bisa memahami privasi atau menyetujui eksposur.
Apa yang terjadi pada Kalimasada bukan sekadar potongan kisah masa lalu yang kembali muncul karena disebut oleh figur publik. Ini adalah contoh konkret bagaimana jejak digital baik yang nyata maupun berbasis ingatan kolektif—bisa kembali mencuat dan membentuk persepsi baru terhadap seseorang.