“Negara wajib hadir memberikan dukungan nyata memberdayakan perempuan di segala bidang pembangunan. Dunia akan memandang negara kita mulia jika sukses mengelola potensi perempuan dalam pembangunan.” - Harmoko
Perempuan itu hebat tidak terbantahkan, dunia pun mengakuinya. Tak sedikit tokoh-tokoh hebat dunia, sejak era dulu hingga sekarang telah mengukirnya dalam kata mutiara yang dapat dikenang sepanjang masa.
Kaisar Prancis (1769-1821), Napoleon Bonaparte, mengungkapkan: Aku telah berhasil memenangi banyak peperangan besar. Kemenangan-kemenangan spektakuler yang berhasil kuraih tercatat dalam tinta emas sejarah, tetapi aku kalah dan terpuruk di hadapan satu wanita.
Kehebatan wanita, terlebih peran ibu terukir dalam kalbu Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat itu lewat kutipannya: Semua yang saya miliki, atau yang saya harapkan, saya berutang kepada ibu saya yang seperti malaikat.
Baca Juga: Kopi Pagi: Solidaritas Tanpa Batas
Dari ungkapan dan pernyataan kedua negarawan tadi, dapat kita maknai bahwa wanita (perempuan) memiliki kekuatan hebat yang dapat meruntuhkan negara, dunia.
Tak berlebihan jika ditafsirkan bahwa wanita adalah tiang negara.Jika perempuan baik, akan jayalah negara, sebaliknya jika perempuan buruk, maka rusak pula negara.
Hanya saja jangan lantas kita menafsirkan secara leterlek – letterlijk (bahasa Belanda) yang berarti literal atau tekstual. Jangan pula kemudian menyimpulkan bahwa kerusakan negara apa pun penyebabnya menjadi tanggung jawab wanita.
Bahwa ada pitutur luhur mengajarkan kepada kita agar tidak tergoda “tiga ta”, yakni tahta, harta dan wanita, lebih kepada karena pengaruhnya dan dampak buruknya jika kita tidak menempatkannya sesuai proporsinya. Tidak menghargainya, malah cenderung mempermainkan sesuka hatinya demi ambisi pribadinya yang tiada batas itu.
Baca Juga: Kopi Pagi: Mitigasi Krisis Lingkungan
Yang dibutuhkan adalah penghargaan, bagaimana dengan kekuatan hebat yang tersimpan dalam diri wanita diberdayakan melalui aksi nyata, bukan sebatas slogan belaka. Bukan cemerlang dalam tataran kebijakan, bukan pula kaya dengan gagasan, namun minim program pemberdayaan.
