Kriminolog UI Pertanyakan Efektivitas 'Kampung Redam' Redam Konflik di Manggarai, Butuh Pendekatan Struktural dan Sosial

Kamis 30 Okt 2025, 19:58 WIB
Ilustrasi tawuran. (Sumber: Poskota/Arif)

Ilustrasi tawuran. (Sumber: Poskota/Arif)

TEBET, POSKOTA.CO.ID - Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Haniva Hasna, turut menyoroti Program Kampung Redam yang diluncurkan di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, sebagai langkah sosial baru untuk mengurai konflik dan tawuran yang kerap terjadi.

Disebutkan, konflik dan tawuran di Manggarai sudah lama menjadi bagian dari subkultur kekerasan yang diwariskan lintas generasi.

"Efektivitas program ini (Kampung Redam) tidak bisa dilihat secara instan, melainkan harus dipahami dari tiga dimensi utama, yaitu penyebab konflik, mekanisme penyelesaian yang ditempuh, serta tantangan dalam implementasinya," ujar Haniva, saat dihubungi Poskota, Kamis, 30 Oktober 2025.

Menurut Haniva, dalam pandangan sebagian warga, bentrok antar-kelompok bahkan dianggap sebagai tradisi dan bentuk solidaritas untuk membela kampung sendiri. Faktor pemicunya sering kali sepele, mulai dari petasan, senggolan, hingga urusan asmara. Namun di balik itu, akar masalahnya terletak pada struktur sosial yang lemah.

Baca Juga: Polsek Tebet Dukung Penuh Program Kampung Redam di Manggarai

"Termasuk kurangnya lapangan kerja, minimnya fasilitas publik, dan tekanan sosial di lingkungan padat penduduk," ucap Haniva.

Haniva menilai bahwa meski aparat telah rutin melakukan patroli dan pengawasan, hasilnya tetap terbatas. Hal ini karena persoalannya bukan hanya pada tindakan kriminal, tetapi sudah berkaitan dengan budaya konflik dan ketimpangan sosial yang tertanam dalam kehidupan masyarakat.

Kendati demikian, kata Haniva, Program Manggarai Bershalawat yang menjadi bagian dari inisiatif Kampung Redam dinilai memiliki arah yang positif. Melalui pendekatan dialog keagamaan dan kultural, program ini berusaha mengganti logika kekerasan dengan logika rekonsiliasi serta memperkuat ikatan sosial positif antarwarga.

"Langkah ini sejalan dengan teori kriminologi yang menekankan pentingnya penguatan modal sosial dalam mencegah kekerasan kolektif. Ketika tokoh agama, majelis taklim, dan warga dapat duduk bersama, potensi konflik bisa ditekan," beber Haniva.

Selain itu, lanjut Haniva, program ini juga mulai menyentuh aspek penyebab seperti pengangguran usia produktif dan minimnya ruang publik, meski pelaksanaannya masih perlu dijabarkan lebih rinci. Ia menilai pendekatan ini sudah mengarah pada tindakan pencegahan, bukan hanya penanganan represif semata. Meski demikian, tantangan di lapangan tetap berat.

"Budaya konflik yang telah mengakar membuat perubahan sosial tidak bisa dicapai dalam waktu singkat," kata Haniva.


Berita Terkait


News Update