“Jujur mengoreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang sering diperbuat, kekurangan yang perlu diperbaiki. baik dalam ucapan dan perbuatan. Tanpa kejujuran, koreksi diri hanyalah kamuflase belaka tiada guna, jauh dari manfaat,” kata Harmoko.
Pelajaran paling berharga dalam menyikapi aksi massa akhir bulan Agustus lalu yang diwarnai kericuhan hingga merenggut korban jiwa, menuntut kita semua, berbagai elemen bangsa, utamanya para elite politik negeri ini untuk senantiasa mawas diri dengan penuh kejujuran.
Mawas diri atas segala yang telah dilakukan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, introspeksi atas segala ucapan dan perbuatan, refleksi diri terhadap emosi, perasaan dan pikiran dalam merespons setiap situasi.
Mawas diri, introspeksi, koreksi diri, refleksi atau apapun istilahnya yang bertujuan untuk mengevaluasi diri memang menjadi kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan.
Baca Juga: Kopi Pagi: Jejak Kesakralan Istana Cipanas
Kita paham, semua institusi yang menjadi sasaran atau tujuan aksi massa menyampaikan aspirasi sepakat akan melakukan evaluasi secara menyeluruh atas semua kebijakan yang dinilai tidak prorakyat, perilaku yang menyakiti hati rakyat. Selain adanya kehendak memperbaiki ruang dialog dan komunikasi publik, agar lebih memahami aspirasi.
Kita patut mengapresiasi langkah yang telah dilakukan pemerintah, pihak eksekutif dan legislatif, dalam merespons situasi terkini. Aksi nyata yang telah dilakukan dengan memenuhi sejumlah poin tuntutan rakyat, terbukti dapat menciptakan suasana yang kondusif.
Ini langkah awal yang hendaknya terus berkesinambungan, bukan hanya karena adanya aksi massa yang menjadi perhatian dunia, mendapat catatan penting dari HAM internasional.
Ada atau tidaknya aksi massa, gejolak sosial dalam masyarakat, evaluasi harus terus dilakukan dengan disertai langkah nyata, bukan sebatas berbenah, melainkan tiada henti melakukan perbaikan diri sebagai bentuk koreksi atas berbagai kekurangan dan kekeliruan dalam mengambil kebijakan.
Koreksi diri yang disertai adanya perbaikan sangatlah penting dalam membangun bangsa dan negara.
Filosofi Jawa mengajarkan mawas diri adalah obor dalam mencapai keselamatan.
"Sregep mawas diri ateges bakal weruh marang kekurangan lan cacade dhewe, wusanane tukul greget ndandani murih apike" - Rajin mawas diri akan mengetahui kekurangan dan cacat diri sendiri sehingga timbul kehendak untuk memperbaiki.
Baca Juga: Kopi Pagi: Erosi Legitimasi
Hanya saja seperti disebutkan di awal tulisan ini, mawas diri memerlukan kejujuran. Jujur mengoreksi terhadap kesalahan -kesalahan yang sering diperbuat, kekurangan yang perlu diperbaiki. baik dalam ucapan dan perbuatan. Tanpa kejujuran, koreksi diri hanyalah kamuflase belaka tiada guna, jauh dari manfaat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” edisi 9 September 2019 dengan judul “Budaya Mawas Diri.”
Perlu kiranya menginisiasi diri, sekalipun orang lain tidak tahu apa yang ada di benak kita, hati kita, pikiran kita, bukan berarti kita lepas dari pengawasan.
Sekecil apa pun kesalahan, sangat rapi sekalipun pelanggaran disembunyikan, tapi semua itu tak akan tersembunyi di hadapan Tuhan Yang Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Itulah perlunya kontrol diri, pengendalian dalam berucap dan berbuat.
Di tengah kompetisi kehidupan yang kian ketat, menjadikan kontrol diri semakin penting menyatu dalam kalbu sebagai kekuatan penyeimbang hawa nafsu.
Pengendalian diri kian dibutuhkan, terlebih dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ditangani negara saat ini, mulai dari penyediaan lapangan kerja, swasembada pangan, membangun infrastruktur sampai dengan transisi energi serta pengelolaan perubahan iklim. Belum lagi situasi dunia yang sedang tidak baik – baik saja.
Tanpa kontrol diri, mengarah kepada sikap dan perbuatannya tak sesuai dengan norma ideal, sosial dan moral yang berlaku di lingkungannya. Mengapa? Jawabnya karena ada musuh besar yang tersembunyi dalam diri kita semua.
Musuh dimaksud adalah hawa nafsu dengan beragam latar belakangnya.
Hawa nafsu sering juga dimaknai sebagai kekuatan emosional yang sangat besar dalam diri seseorang menyangkut pemikiran, kehendak atau boleh jadi fantasi diri.
Baca Juga: Kopi Pagi: Pemimpin Harus Tegas, Rakyat Menunggu Keberpihakan
Orang melakukan korupsi misalnya, bukan karena tidak tahu bahwa korupsi itu melanggar hukum. Tetapi lebih karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan hawa nafsu, keinginan kuat dalam hatinya untuk mendapatkan uang berlimpah dengan mudah.
Seseorang berkata kasar, menyakiti hati rakyat, bukannya tidak tahu etika dan tata krama, terlebih pejabat dan tokoh masyarakat, tetapi lebih karena tidak mampu mengendalikan kesombongan diri akibat kekuasaan dan kekuatan.
Meremehkan dan merendahkan orang lain, sementara menganggap dirinya paling baik, paling tahu, paling segalanya, pertanda belum adanya niat pengendalian diri.
Mari kita tiada henti mawas diri, mengendalikan diri. Ada pesan moral yang sekiranya menjadi inspirasi, “Kendalikan hawa nafsumu sebelum ia menghancurkanmu”. (Azisoko).