PN Jakarta Pusat telah menetapkan 8 September 2025 sebagai sidang perdana perkara ini. Agenda awal kemungkinan besar hanya memeriksa kelengkapan berkas, namun publik menanti apakah gugatan ini akan diterima atau ditolak.
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa gugatan Subhan di PTUN Jakarta tidak diterima karena melewati tenggat waktu. Namun, jalur perdata bisa berbeda, sebab logika hukumnya tidak selalu sama.
Apapun keputusannya, sidang ini diperkirakan akan menyedot perhatian media nasional, mengingat melibatkan pejabat nomor dua di republik.
Subhan Pala: Warga Biasa dengan Nyali Besar
Sosok Subhan Pala masih penuh tanda tanya. Ia disebut sebagai warga sipil biasa, tanpa afiliasi politik jelas. Tidak ada catatan publik tentang pekerjaannya, keluarganya, atau latar belakang aktivismenya.
Namun, keberaniannya menantang Wapres dan KPU membuat banyak orang bertanya: apakah ini murni inisiatif pribadi? Atau ada kelompok tertentu di balik layar yang memberi dukungan moral maupun materiil?
Keberanian seorang warga biasa untuk melawan pejabat negara menunjukkan bahwa ruang hukum di Indonesia masih terbuka bagi siapa pun. Meski demikian, realitas politik sering kali membuat gugatan semacam ini sulit untuk benar-benar berbuah kemenangan.
Reaksi Publik: Antara Apresiasi dan Skeptisisme
Respon masyarakat atas gugatan Subhan terbelah menjadi dua:
- Pendukung menilai langkah Subhan sebagai bentuk partisipasi sipil dalam mengawasi pejabat publik. Gugatan ini dianggap simbol bahwa warga berhak menuntut keadilan, meskipun lawannya pejabat tinggi negara.
- Pengkritik menilai tuntutan Rp125 triliun terlalu utopis dan tidak realistis. Bahkan, ada yang menuduh gugatan ini sekadar mencari sensasi.
Dalam konteks politik, kasus ini juga menambah daftar panjang kontroversi yang melekat pada Gibran sejak awal pencalonannya. Ia sering menjadi sorotan, baik karena faktor usia, kedekatan dengan Presiden Joko Widodo, maupun legalitas pencalonan.
Langkah Subhan bisa dipandang sebagai simbol perlawanan warga terhadap elite politik. Meski peluang menang kecil, gugatan ini memberi pesan penting: jabatan publik tidak kebal dari kritik dan tuntutan hukum.
Ada dimensi psikologis yang menarik: keberanian Subhan mencerminkan frustrasi sebagian masyarakat terhadap ketidakadilan politik. Gugatan perdata dengan angka fantastis mungkin bukan hanya soal hukum, melainkan juga strategi menggugah kesadaran publik.
Di sisi lain, kasus ini menimbulkan refleksi: apakah gugatan hukum masih dipandang sebagai instrumen rasional mencari keadilan, atau sudah bergeser menjadi arena simbolik untuk mengekspresikan ketidakpuasan?
Baca Juga: Tutorial Membuat Foto AI Miniatur Motor, Tren Baru yang Viral di Medsos