“Jika janda tidak dilibatkan dalam perancangan kebijakan, KJJ hanyalah pendekatan top-down yang maskulin, di mana elit legislatif yang mayoritas laki-laki, memutuskan atas nama perempuan,” kritik Dewi.
Sebagai alternatif, Dewi mengusulkan pendekatan berbasis kesetaraan dan martabat, seperti skema “jaminan sosial keluarga tunggal” atau program “perempuan kepala keluarga mandiri”.
Program semacam ini harus mencakup pelatihan keterampilan, dukungan daycare, dan perlindungan hukum, serta dijalankan bersama upaya menghapus stigma terhadap janda melalui edukasi publik dan reformasi hukum perkawinan.
"Mengutip bell hooks (2000), perjuangan feminis adalah memastikan perempuan menjadi subjek dalam kehidupan mereka, bukan sekadar penerima manfaat," beber Dewi.
Di tengah meningkatnya angka feminisasi kemiskinan di Jakarta, Dewi menyerukan kebijakan yang benar-benar mendengar dan melibatkan perempuan.
Dia menegaskan, bahwa perempuan tidak butuh gimmick administratif seperti KJJ. Justru yang dibutuhkan adalah politik yang bekerja bersama perempuan, terutama mereka yang selama ini tak terdengar.