Aktivis Perempuan Anggap Kartu Janda Jakarta Perkuat Stigma dan Abaikan Kebutuhan Nyata Perempuan

Rabu 30 Jul 2025, 18:00 WIB
Ilustrasi, aktivis perempuan mengkritik usulan Kartu Janda Jakarta. (Sumber: PxHere)

Ilustrasi, aktivis perempuan mengkritik usulan Kartu Janda Jakarta. (Sumber: PxHere)

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Wacana Kartu Janda Jakarta (KJJ) yang diusulkan oleh Fraksi Gerindra DPRD Jakarta menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk aktivis perempuan. Kebijakan itu, dianggap berpotensi mempertebal stigma sosial terhadap janda.

"Kebijakan ini tidak hanya mencerminkan politik belas kasihan yang mereduksi perempuan sebagai objek pasif, tetapi juga memperkuat stigma sosial terhadap “janda” sebagai identitas yang didefinisikan melalui hubungan dengan laki-laki," ujar aktivis perempuan, Dewi Candraningrum, kepada Poskota, Rabu, 30 Juli 2025.

Dewi menyoroti bahwa KJJ, yang ditujukan untuk membantu janda miskin, justru berisiko memperdalam narasi bahwa janda adalah kelompok yang harus dikasihani.

Dewi mengutip Sara Ahmed dalam The Promise of Happiness (2010), bahwa wacana empati semacam ini sering kali menjadi alat untuk membungkam suara perempuan, memaksakan definisi kesejahteraan dari perspektif negara, bukan dari kebutuhan nyata perempuan itu sendiri.

Baca Juga: Pramono Sebut Revitalisasi Stasiun Tanah Abang Bakal Ubah Stigma di Masyarakat

“Kebijakan ini tidak melibatkan perempuan dalam prosesnya. Janda digambarkan sebagai subjek yang menderita tanpa agensi, padahal mereka adalah warga negara dengan hak setara,” kata Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu.

Kritik lainnya, lanjut Dewi, menyasar logika kategorisasi “janda” sebagai target bantuan. Mengapa tidak menggunakan kategori yang lebih inklusif seperti “perempuan kepala keluarga” atau “keluarga miskin”?

Dengan melabeli perempuan sebagai “janda,” negara secara tidak langsung menegaskan identitas mereka melalui status pernikahan. Seolah-olah perempuan yang ditinggalkan suami, baik karena kematian maupun perceraian, adalah kelompok yang layak mendapat belas kasihan.

“Ini memperkuat stigma sosial dan mengabaikan struktur penyebab kerentanan janda, seperti ketimpangan akses kerja, bias gender dalam hukum, atau penelantaran ekonomi pasca-perceraian,” ucap Dewi.

Lebih lanjut, seorang ibu yang merawat anak disabilitas itu mengatakan, merujuk pada gagasan Nancy Fraser dalam "Justice Interruptus" (1997) tentang keadilan yang harus mencakup pengakuan identitas dan perombakan struktur ketimpangan. Peneliti studi gender itu juga mencurigai bahwa wacana KJJ mengandung motif politik populis.

Karena itu Dewi mempertanyakan apakah kebijakan ini murni bentuk kepedulian atau sekadar strategi elektoral menjelang pemilu. Disebutnya, bantuan tunai tanpa program pemberdayaan hanya akan memperberat beban perempuan dalam rumah tangga.


Berita Terkait


News Update