Bila kita lihat dari sisi manusiawi, ucapan Timothy memang terdengar keras. Tidak semua orang punya opsi untuk beli barang secara tunai. Ada kalanya cicilan menjadi satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti kendaraan untuk bekerja, atau perangkat digital untuk sekolah daring anak.
Namun, titik kritis dari argumen Timothy bukan pada pelarangan cicilan, melainkan pada kesadaran finansial.
Ia menekankan pentingnya refleksi sebelum membeli: apakah barang tersebut memang benar-benar dibutuhkan, atau hanya karena tergoda promo “bunga 0%”? Apakah membeli dengan cicilan membawa manfaat produktif atau sekadar memuaskan ego konsumtif?
Edukasi Finansial: Menanamkan Mindset Kaya, Bukan Gaya
Sebagai edukator keuangan, Timothy tak hanya melontarkan kritik, tetapi juga mengajak masyarakat membentuk pola pikir baru. Bagi dia, mindset kaya bukan berarti punya banyak uang, tapi cermat dalam mengelola uang.
Ini termasuk:
- Menunda keinginan demi tujuan jangka panjang
- Mengalokasikan penghasilan untuk dana darurat dan investasi
- Membangun aset, bukan hanya memiliki barang
Ia ingin generasi muda belajar bahwa membeli barang cash adalah simbol kendali finansial, bukan gengsi. Dengan membayar tunai, seseorang tidak hanya menghindari beban bunga, tapi juga belajar disiplin mengatur prioritas.
Dampak Jangka Panjang: Siklus Kelas Menengah yang Tak Pernah Usai
Jika sistem ekonomi terus mendorong masyarakat pada konsumsi berbasis cicilan, maka kelas menengah akan selalu berada dalam tekanan. Mereka:
- Terus bekerja demi menutup tagihan
- Tidak punya cadangan dana
- Rentan terhadap krisis mendadak
Dalam jangka panjang, ini menyebabkan generasi demi generasi tetap terjebak dalam kelas yang sama, tanpa ada peningkatan kualitas hidup yang berarti.
Pandangan ini, meski terdengar pesimistis, menjadi panggilan untuk mengevaluasi kebiasaan kita sehari-hari. Jangan-jangan, kita selama ini hanya merasa sedang maju, padahal hanya berputar di tempat.
Relevansi dengan Generasi Muda: Konsumtif atau Produktif?
Timothy memiliki banyak pengikut dari kalangan muda. Gaya bicaranya yang blak-blakan, ditambah cara penyampaian yang lugas, membuat pesan-pesannya mudah diterima. Namun yang lebih penting adalah substansi dari pesan itu sendiri.
Generasi muda saat ini tumbuh dalam dunia yang dipenuhi tawaran instan: Paylater, kartu kredit digital, e-commerce dengan cicilan tanpa DP. Semua ini menciptakan budaya “beli sekarang, pikir nanti.”
Padahal, justru saat muda inilah waktu terbaik untuk:
- Belajar menabung
- Memahami konsep bunga dan nilai waktu uang
- Memulai investasi kecil