“Produk pangan olahan bernatrium tampaknya bisa menjadi salah satu barang perluasan cukai. Penyakit darah tinggi banyak disebabkan oleh produk ini,” katanya.
Ia menambahkan, skema pengenaan cukai kemungkinan akan menerapkan tarif berbeda berdasarkan kadar natrium.
“Tidak serta-merta semua produk bernatrium kena cukai tinggi, tapi harus ada pengaturan kandungannya. Produk dengan natrium lebih tinggi akan dikenakan cukai lebih besar,” jelasnya.
Baca Juga: Larangan Second Account! DPR Usulkan 1 Orang 1 Akun Medsos
Dampak pada Industri
Kebijakan ini diprediksi memengaruhi industri makanan dan minuman (mamin), terutama produsen snack kemasan. Namun, Huda meyakini pelaku usaha bisa beradaptasi dengan reformulasi produk rendah natrium.
“Industri memang akan tertekan, tetapi perusahaan yang mampu menyesuaikan diri tetap akan mendapatkan permintaan tinggi,” ujarnya.
Selain P2OB, pemerintah juga masih mengkaji cukai untuk plastik, BBM, minuman berpemanis (MBDK), serta pengalihan PPnBM kendaraan bermotor ke skema cukai. Langkah ini menunjukkan integrasi kebijakan fiskal dengan agenda kesehatan dan lingkungan.
Sebelumnya, wacana cukai MBDK pada 2024 lalu sempat memicu pro-kontra. Kini, rencana cukai snack kemasan diperkirakan akan menghadapi resistensi serupa, terutama dari kalangan industri. Namun, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini akan dikaji matang, termasuk dampak ekonomi dan sosialnya.
“Kami ingin penerimaan negara optimal, tetapi juga mendorong gaya hidup sehat,” tegas Anggito. Hasil kajian DJBC dan masukan dari pakar akan menjadi dasar penyusunan regulasi lebih lanjut.