POSKOTA.CO.ID - Priya Nailuredha Thoriq ditemukan meninggal dunia di rumahnya. Menurut kesaksian ibunya, Fuji Lestari, anaknya mengalami tekanan hebat sejak akhir Juni 2025.
Ia dituduh melaporkan temannya yang menggunakan vape di kelas. Tuduhan tersebut memicu gelombang perundungan dari teman sebaya bahkan, menurut pengakuan sang ibu, juga oknum guru.
Puncak tekanan terjadi saat Priya dinyatakan tidak naik kelas. Kombinasi rasa malu, stigma, dan rasa terisolasi diduga membuat kondisi mentalnya kian rapuh.
Baca Juga: Smartwatch Lari Terbaik 2025, Cek 15 Rekomendasi untuk Semua Tingkatan Pelari
Respon Pihak Sekolah dan Pemerintah Daerah
Kepala Sekolah SMAN 6 Garut, Dadang Mulyadi, membantah tuduhan perundungan. Ia menyebut bahwa Priya tidak naik kelas karena tidak menuntaskan tujuh mata pelajaran. Pernyataan ini diperkuat oleh wali kelas, Yulia Wulandari, yang mengaku sudah berusaha mendampingi Priya, bahkan berdiskusi rutin dengan keluarga mengenai perubahan sikap anaknya.
Namun pernyataan itu berbeda dengan kesaksian ibu korban yang merasa anaknya mendapatkan tekanan verbal dan perlakuan diskriminatif dari oknum guru.
Wakil Bupati Garut, Putri Karlina, mengonfirmasi bahwa pemerintah daerah sudah menangani kasus Priya jauh sebelum peristiwa meninggal terjadi. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) disebut sudah memberikan sesi pendampingan psikologis. Akan tetapi, upaya itu rupanya belum cukup untuk memulihkan kesehatan mental korban.
Mengapa Bullying Terjadi?
Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa bullying masih marak di sekolah?
Beberapa faktor umum yang kerap menjadi pemicu bullying:
- Identitas sosial korban yang dianggap berbeda atau rentan.
- Budaya senioritas atau “hukum rimba” di lingkungan sekolah.
- Kurangnya intervensi dini dari pihak sekolah.
- Ketidakpekaan orang dewasa terhadap tanda-tanda stres berat pada remaja.
- Minimnya literasi kesehatan mental, baik pada siswa, guru, maupun orang tua.
Dalam kasus Priya, stigma sebagai “pengadu” membuatnya dijadikan sasaran kemarahan kolektif. Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, pelabelan itu menjadi titik awal isolasi sosial yang semakin intens.
Aspek Psikologis Remaja yang Kerap Diabaikan
Remaja berada pada fase perkembangan identitas. Tekanan sosial dari kelompok sebaya dan tuntutan akademik bisa menjadi beban yang melebihi kapasitas daya lenting psikologis mereka. Ketika dukungan sosial lemah, perasaan tidak berharga dan depresi bisa tumbuh dengan cepat.
Banyak pihak berasumsi remaja harus “kuat” menghadapi konflik. Padahal, masa remaja justru periode paling rawan rapuh secara emosi. Kalimat sederhana seperti, “Kamu pasti bisa, jangan lebay,” yang sering dilontarkan orang dewasa, tak jarang justru mematikan ruang aman bagi remaja untuk bercerita.
Peran Guru dalam Pencegahan Bullying
Guru seharusnya bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga keamanan emosional siswa. Jika ada dugaan perlakuan diskriminatif, sekolah wajib menyelidiki secara transparan.
Dalam kasus Priya, klaim wali kelas yang merasa sudah mendampingi korban justru menimbulkan pertanyaan publik: jika pendampingan sudah maksimal, mengapa tekanan mental korban tak kunjung pulih?
Momen ini menjadi refleksi bagi institusi pendidikan: adakah protokol deteksi dini yang sistematis, ataukah hanya formalitas administratif semata?
Penanganan Kasus oleh Kepolisian
Polres Garut melalui Kasat Reskrim AKP Joko Prihatin telah membuka penyelidikan menyeluruh. Mereka mendalami kesaksian keluarga, pihak sekolah, teman sekelas, hingga pihak dinas terkait.
Belum ada tersangka resmi, tetapi proses investigasi diharapkan dapat membongkar fakta utuh tentang apa yang sebenarnya dialami Priya.
Dimensi Sosial Media dalam Kasus Priya
Unggahan ibunda Priya di Instagram memicu simpati luas. Banyak warganet menyerukan keadilan untuk korban, serta menuntut keterbukaan informasi.
Fenomena ini menunjukkan dua sisi media sosial:
- Media advokasi untuk korban yang suaranya kerap diabaikan.
- Ruang spekulasi yang bisa menciptakan tekanan baru bagi keluarga maupun pihak sekolah.
Upaya Preventif yang Bisa Dilakukan Sekolah
Berikut beberapa langkah yang bisa menjadi pelajaran bagi institusi pendidikan:
- Pendidikan anti-bullying rutin, bukan hanya satu kali sosialisasi.
- Pelatihan guru dan staf untuk mendeteksi tanda depresi dan trauma.
- Layanan konseling proaktif, dengan mekanisme rahasia bagi siswa melapor.
- Pembuatan kebijakan sanksi tegas untuk pelaku bullying.
- Pendampingan keluarga korban secara berkelanjutan.
Apakah Sistem Pendidikan Sudah Ramah Psikologis?
Kasus Priya menunjukkan lemahnya sistem perlindungan kesehatan mental di sekolah negeri. Kurikulum Indonesia cenderung menitikberatkan capaian akademik, dengan ruang terbatas untuk penguatan emosi.
Harapan Publik untuk Penuntasan Kasus
Publik menuntut dua hal utama:
- Proses hukum transparan untuk memastikan keadilan bagi Priya.
- Transformasi kebijakan pendidikan agar tragedi serupa tidak terulang.
Priya Nailuredha Thoriq bukan sekadar angka statistik. Ia remaja yang memiliki mimpi dan potensi. Tragedi ini seharusnya menjadi momentum introspeksi nasional: sudahkah sekolah menjadi tempat aman bagi tumbuh kembang anak?
Selagi kasus ini berjalan di ranah hukum, publik berharap seluruh pihak berkaca dan bertindak nyata. Karena di balik data kasus bullying yang terus bertambah, ada keluarga yang berduka, dan generasi yang makin kehilangan rasa aman.