Di dalam area perkebunan Lebak Sirih terdapat bangunan peninggalan Belanda seluas 500m2 yang disebut sebagai Landhuis atau rumah tuan tanah perkebunan, yang telah berdiri jauh sebelum J. Scott menyewa wilayah ini menjadi sebuah perkebunan sirih.
Nama Landhuis Lebak Sirih kemudian disebut juga oleh masyarakat setempat sebagai Rumah Besar Cililitan, karena sebelum abad ke 19 Kampung Jati merupakan bagian dari wilayah Cililitan.
Pemilik pertama dari rumah tersebut ialah Herndrikus Laurens van De Crap tahun 1755. Van de Crap menggunakan rumah tersebut sebagai tempat peristirahatan keluarga.
Di masa itu, banyak warga Belanda yang membangun rumah peristirahatan untuk sekedar melepas penat dari kepadatan pusat Kota Batavia atau yang saat ini menjadi Jakarta.
Pasalnya, saat itu lingkungan Batavia tidak terlalu baik karena adanya wabah kolera dan malaria.
Sepeninggal Van de Crap, landhuis tersebut diwariskan kepada Istrinya, Anna Christina Houtman pada tahun 1785.
Kemudian pada tahun 1807, landhuis itu beralih kepemilikan kepada Pendeta Calvinist yang bernama Daniel Alberth Reguleth.
Baca Juga: Jejak Sejarah Pecinan Glodok, Pusat Perdagangan dan Budaya Tionghoa Sejak Abad ke-17
Sepeninggalnya pendeta Daniel Alberth, landhuis tersebut diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan dijadikan markas Veldpolitie (kepolisian).
Berubah Menjadi Markas Kepolisian
Sebagai markas Veldpolitie, landhuis ini digunakan sebagai tempat untuk memantau keamanan di wilayah Ommelanden atau daerah pinggiran Batavia, yang di akhir abad 19 sampai tahun 20-an marak dengan perampokan yang ditujukan kepada bangsa Eropa, khususnya para tuan-tuan tanah termasuk dalam hal ini adalah tuan tanah Tionghoa.
Lalu di masa pemerintahan militer Jepang, landhuis dan sekitarnya dijadikan Sekolah Kepolisian Istimewa, guna menunjang angkatan perang Jepang di sektor keamanan masyarakat.