POSKOTA.CO.ID - Di antara gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk ibu kota, Sunda Kelapa berdiri tegak bagai mesin waktu yang bisu. Pelabuhan berusia delapan abad ini menyimpan denyut nadi Jakarta sebelum ia menjadi megapolis, sebuah saksi hidup yang terus bercerita tentang kejayaan maritim, kolonialisme, dan ketangguhan tradisi di tengah arus modernisasi.
Berjalan di sepanjang dermaganya yang berlapis kayu usang, pengunjung seolah diajak menyelami lapisan-lapisan waktu. Aroma laut yang bercampur dengan bau minyak kapal tradisional membawa ingatan pada era ketika rempah-rempah Nusantara diperebutkan bangsa-bangsa.
Di sini, setiap kapal pinisi yang bersandar bukan sekadar alat transportasi, melainkan pewaris sah budaya bahari yang telah mengarungi samudera sejak abad ke-5.
Kini, di usia Jakarta yang ke-498, Sunda Kelapa menghadapi paradoksnya sendiri. Ia adalah situs warisan yang terjepit antara pelestarian dan perkembangan kota, antara masa lalu dan tuntutan ekonomi kontemporer.
Namun, justru dalam ketegangan inilah pelabuhan tua ini menemukan relevansinya, sebagai ruang dialog abadi antara memori kolektif bangsa dan masa depan yang terus ditulis.
Dari Pelabuhan Rempah ke Pusat Kolonial
Sunda Kelapa telah menjadi pusat denyut niaga sejak abad ke-12, di era Kerajaan Sunda. Catatan Tome Pires (1513) menggambarkannya sebagai pelabuhan strategis tempat pedagang global bertukar porselen Tiongkok, kopi Arab, dan rempah-rempah Nusantara.
"Sunda Kelapa adalah hub budaya dan ekonomi sebelum nama 'Jakarta' lahir," ujar sejarawan Universitas Indonesia, Prof. Bambang Eryudhawan, dalam diskusi Heritage Week 2025.
Titik balik terjadi pada 22 Juni 1527, ketika Pangeran Fatahillah merebut pelabuhan dari Portugis dan menamainya Jayakarta. Tanggal ini kemudian dikukuhkan sebagai hari jadi ibu kota.
Namun, kejayaan pelabuhan ini berubah wajah saat VOC menguasainya di abad ke-17, menjadikannya basis pemerintahan kolonial Batavia.
Baca Juga: Sejarah Nama Jalan Gatot Subroto di Jakarta dari Jaman Penjajahan hingga Saat Ini