POSKOTA.CO.ID - Laris manis tanjung kimpul, dagangan laris walau berkumpul. Ungkapan ini sangat cocok menggambarkan hiruk-pikuk Pasar Tanah Abang, pusat grosir tekstil yang tak pernah sepi pembeli.
Siapa pun yang pernah menjejakkan kaki di Jakarta, pasti mengenal nama besar Tanah Abang. Bahkan para wisatawan dari berbagai belahan dunia rela mengantri demi membeli aneka produk tekstil di pasar yang disebut-sebut sebagai terbesar di Asia Tenggara ini.
Meski sangat populer, masih banyak yang belum tahu sejarah panjang di balik berdirinya kawasan Tanah Abang.
Bahkan, banyak pula yang penasaran: apakah benar nama "Tanah Abang" punya kaitan dengan sosok Abang tertentu? Untuk menjawab rasa penasaran itu, mari menelusuri jejak sejarahnya dilansir dari YouTube DAAI TV.
Baca Juga: Sejarah dan Asal Usul Jakarta: Dari Sunda Kelapa hingga Kota Metropolitan
Asal Usul Nama Tanah Abang: Mitos dan Fakta
Tanah Abang terletak di pusat kota Jakarta, menaungi tujuh kelurahan yaitu Gelora, Bendungan Hilir, Karet Tengsin, Kebon Melati, Pertamburan, Kebon Kacang, dan Kampung Bali.
Luasnya mencapai 9,3 km persegi, menjadi titik temu berbagai etnis seperti Betawi, Jawa, Sunda, Banten, Batak, Bali, Tionghoa, hingga Minangkabau. Sejak dulu, keragaman ini tak menimbulkan konflik, malah justru membentuk harmoni sosial.
Nama "Tanah Abang" sendiri memunculkan beberapa versi pendapat. Pendapat pertama menyebutkan bahwa kata "Abang" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "merah." Pada tahun 1628, kawasan ini memang dikenal sebagai tanah merah yang berlumpur dan dipenuhi rawa-rawa.
Pendapat kedua muncul pada masa kolonial Belanda. Kala itu, seorang konglomerat peranakan Tionghoa bernama Poa Beng Gan mendapatkan izin dari VOC untuk memimpin pengerjaan pembangunan kanal. Para pekerja dari Banten menyebut area tersebut sebagai "Tanah Abang"” yang berarti tanah milik Abang Poa.
Versi ketiga, kata "Abang" kemudian diberi imbuhan "De" oleh lidah Belanda, sehingga perlahan berubah menjadi sebutan yang kini kita kenal: "Tanah Abang."
Dari tiga pendapat tersebut, masyarakat Jakarta memiliki keyakinan masing-masing, meski semuanya sama-sama menarik untuk ditelusuri.
Sejarah Berdirinya Pasar Tanah Abang
Beralih dari kawasan ke pasar, catatan sejarah menunjukkan bahwa Pasar Tanah Abang sudah ada sejak abad ke-17, tepatnya pada 30 Agustus 1735. Pasar ini dibangun oleh Yustinus Vinck atas izin Gubernur Jenderal Abraham Patras. Tujuannya, untuk menyaingi popularitas Pasar Senen yang lebih dulu ramai di Batavia.
Awalnya, pasar Tanah Abang hanya terdiri dari 229 petak papan dan 139 petak bambu beratap rumbia. Meski sederhana, pasar ini cepat berkembang dan sukses menarik banyak pedagang serta pembeli, baik dari warga lokal hingga wisatawan.
Perputaran uangnya pun fantastis, mencapai ratusan miliar rupiah per hari, terutama menjelang Lebaran. Pasar Tanah Abang juga menjadi langganan para tokoh besar, termasuk beberapa Presiden Republik Indonesia yang pernah berbelanja di sana. Semua ini membuktikan bahwa popularitas pasar Tanah Abang bukan sekadar isapan jempol.
Tantangan dan Kebangkitan
Pasar Tanah Abang sempat mengalami masa sulit. Pada 1740 terjadi tragedi Geger Pecinan di Batavia yang menyebabkan perampasan barang dan kerusakan besar.
Pada 1881 pasar ini dibangun kembali. Selanjutnya, di tahun 1913, pasar dipugar, dan pada 1926, pemerintah kolonial Belanda mengganti bangunan lama dengan struktur permanen mirip kandang burung beratap genteng.
Menariknya, nama “Pasar Tanah Abang” awalnya sesuai dengan hari operasionalnya: hanya buka pada hari Sabtu. Namun setelah tragedi Geger Pecinan, mulai tahun 1881 pasar buka dua kali seminggu, yaitu hari Sabtu dan Rabu.
Transformasi terus berlanjut. Pada 1973, pasar Tanah Abang diremajakan menjadi empat bangunan berlantai empat. Meski sempat mengalami kebakaran besar di Blok A (1970) dan Blok B (1979), jumlah kios tetap meningkat hingga mencapai lebih dari 4.000 unit dengan ribuan pedagang.
Saat ini Tanah Abang terbagi menjadi beberapa wilayah: Tanah Abang Metro, Tanah Abang Lama, dan Tanah Abang AURI. Totalnya, ada banyak blok mulai dari Blok A, B, C, D, E, F, G, hingga BB dan CC. Pembeli pun semakin mudah memilih barang sesuai kebutuhan.
Surga Belanja dengan Segudang Cerita
Selain tekstil, Pasar Tanah Abang juga menjadi tempat favorit untuk membeli oleh-oleh haji, busana muslim, hingga kebutuhan rumah tangga dengan harga grosir yang bersaing.
Sistem distribusi dulu sangat sederhana, hanya menggunakan gerobak dorong. Kini pembeli bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik commuter line, turun langsung di Stasiun Tanah Abang.
Dengan sejarah panjang dan pesonanya yang tetap memikat, Pasar Tanah Abang menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya dan semangat dagang masyarakat Jakarta tetap hidup hingga kini.
Dari masa ke masa, Tanah Abang tak hanya tempat belanja, tetapi juga saksi bisu perjalanan sejarah ibu kota.