Perpaduan ini terlihat dari unsur Bali di ujung atap yang melengkung, bentuk dasar bangunan berbentuk bujur sangkar dan atap limasan khas Jawa, pintu dan anak tangga bergaya Belanda, serta elemen Cina pada atap yang melengkung
“Masjid ini dijadikan sebagai simbol dari kebhinekaan etnik yang ada di Indonesia” tulis Melina Supriyanti, Nurul Haniifah, dan Jumardi dalam jurnal.
Masjid ini telah mengalami pemugaran beberapa kali, namun tetap mempertahankan ciri khas arsitektur aslinya. Sejak tahun 2008, perawatan masjid semakin intensif, dan pada 2017 ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan rekomendasi Nomor 017/TACB/Tap/V/2017.
Baca Juga: Asal Usul Fenomena Bahasa Campuran Indonesia-English di Jaksel, Ternyata Ini Sejarahnya
Fungsi Sosial Keagamaan yang Terus Hidup
Sejak dahulu hingga kini, Masjid Angke tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat aktivitas sosial dan keagamaan masyarakat.
Pada masa kolonial, masjid ini berfungsi sebagai tempat belajar dan pusat pelatihan strategi perang.
Bahkan, lantai atas masjid digunakan untuk mengintai musuh dan menjadi tempat muadzin mengumandangkan adzan.
Menariknya, kehidupan sosial di sekitar Masjid Angke sangat kental dengan nuansa toleransi. Warga sekitar yang mayoritas keturunan Tionghoa memiliki tradisi saling berbagi makanan saat Hari Raya Idul Fitri dan Tahun Baru Imlek, yang menjadi simbol harmoni antarumat beragama dan antarbudaya di Jakarta Barat.