Menurut Haji Saman, sebenarnya bukan batunya yang membesar, melainkan akar pohon di atasnya yang tumbuh, sehingga membuat batu seperti terangkat.
“Sekarang namanya itu sudah menjadi namanya Kampung Batu Tumbuh atau orang setempat nyebutnya Desa Tumbuh,” terang Candrian.
Sayangnya, kampung tersebut kini hanya tersisa sebagai nama jalan kecil: Jalan Batu Tumbuh.
Baca Juga: Jawaban Mengapa Bekasi Bagian dari Jawa Barat, Padahal Sejarahnya Dekat dengan Jakarta
Peta 1920 dan Jejak Sejarah yang Hilang
Dalam sebuah peta dari tahun 1920 yang ditunjukkan Candrian, terlihat jelas nama "Batoe Tomboeh" dan kawasan sekitarnya yang masih berupa sawah dan rawa, termasuk Kelapa Gading yang saat itu belum menjadi kawasan elit seperti sekarang.
Berdasarkan penelitian Belanda, aliran sungai dari kawasan ini masuk ke Lagoa, Cilincing, dan bermuara di Marunda, bagian dari sistem sungai purba yang disebut dalam Prasasti Tugu.
Prasasti ini dipindahkan pada tahun 1879 oleh otoritas Belanda ke Museum Nasional (dulu disebut Museum Arca).
Menurut cerita Haji Saman, “dipindahkannya itu dengan cara diangkut dengan gerobak ditarik dengan beberapa sapi.” Bayangkan betapa jauhnya perjalanan batu itu menembus hutan dan rawa pada masa itu.
Baca Juga: Asal Usul Fenomena Bahasa Campuran Indonesia-English di Jaksel, Ternyata Ini Sejarahnya
Prasasti Tugu: Warisan Peradaban yang Terlupakan
Prasasti Tugu merupakan salah satu prasasti tertua di Indonesia. Ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, prasasti ini menyebutkan bahwa Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara memerintahkan pembangunan saluran air dari Sungai Candrabaga (kini Kali Cakung) menuju Cilincing.
Saluran ini bernama Sungai Gomati dan dibangun sepanjang 11 km hanya dalam waktu 21 hari, dengan bantuan para Pandita Brahmana yang kemudian diberikan 1.000 ekor sapi sebagai penghargaan.
Namun kini, “Kali Cakung atau Sungai Cakung yang percabangannya dulu disebut Candrabaga dan Gomati itu sudah tidak dihargai lagi oleh warga setempat,” ungkap Candrian.