POSKOTA.CO.ID - Monumen Nasional (Monas), yang berdiri kokoh di jantung ibu kota Jakarta, tidak hanya menjadi simbol kejayaan masa lalu, tetapi juga menjadi penunjuk arah masa depan Indonesia. Dalam benak banyak warga, Monas telah lama menjadi ikon wisata yang menyimpan keunikan, namun bagi sebagian lainnya, ia adalah mercusuar peradaban.
Lalu, mengapa Monas disebut sebagai mercusuar?
Monas memiliki puncak berlapis emas seberat 28 kilogram, yang menyerupai nyala api abadi. Simbol ini bukan sekadar hiasan, tetapi penanda semangat yang tak pernah padam. Seperti mercusuar yang menuntun kapal di malam gelap, Monas dirancang untuk menjadi panduan visi Indonesia menuju masa depan yang mandiri, maju, dan berdaulat dalam pengolahan sumber daya.
Baca Juga: Ciri-Ciri Leptospirosis Mematikan yang Mewabah Usai Banjir di Yogyakarta, 18 Kasus Tercatat
Simbol Lesung-Alu: Kesuburan dan Industrialisasi
Melansir dari Quora @Sanggam Luban Tobbing, bentuk Monas yang terinspirasi dari lesung dan alu (LA) kerap dipahami sebatas lambang kesuburan dan agraris. Namun, pemahaman ini masih bersifat parsial. Dalam tinjauan lebih luas, lesung-alu juga mencerminkan transformasi industri: dari padi menjadi tepung, dari bahan mentah menjadi bahan olahan.
LA adalah representasi dari rantai nilai bahwa kemajuan bangsa tidak ditentukan oleh berapa banyak hasil panen yang diproduksi, melainkan oleh seberapa jauh bahan mentah itu diolah dan memberikan nilai tambah, baik secara:
- Vertikal: dari segi harga produk, misalnya singkong mentah Rp2.000/kg berubah menjadi kerupuk senilai Rp5.000/kg.
- Horisontal: dari segi tenaga kerja dan industri pendukung seperti pengemasan, distribusi, hingga pemasaran.
Dengan kata lain, Monas bukan hanya lambang sejarah, melainkan manifesto industrialisasi Indonesia.
Monas dan Arah Pembangunan Nasional
Presiden Sukarno merancang Monas sebagai bagian dari rencana besar pembangunan nasional selama 25 tahun ke depan. Ini adalah bentuk infrastruktur mental sebuah pondasi ideologis yang mengarahkan bangsa ke arah industrialisasi, lepas dari ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah.
Dalam konteks tersebut, pemimpin Indonesia idealnya harus sesekali “menoleh ke Monas”, mengingat simbol ini adalah penanda visi besar bangsa. Jika tidak, maka bahaya besar akan mengintai, sebagaimana yang terjadi pada krisis 1998 yang dikenal sebagai kegagalan arah pembangunan nasional saat “kapal Indonesia” menabrak karang.
Monas dan Kelestarian Lingkungan
Berpindah ke sektor industri bukan berarti mengabaikan lingkungan. Justru sebaliknya, keberhasilan Indonesia sebagai negara industri akan mengurangi kebutuhan untuk membuka hutan sebagai lahan pertanian baru.
Jika pemuda terserap dalam sektor industri dan manufaktur, tekanan terhadap hutan akan berkurang drastis. Maka hutan di Kalimantan dan Papua bisa dijadikan “mesin raksasa penyerap karbon”, menjadikan Indonesia sebagai paru-paru dunia.