Kisah Tan Malaka: Pemikir Revolusi yang Ditembak Bangsanya Sendiri, tapi Gagasannya Tetap Hidup

Sabtu 05 Jul 2025, 21:38 WIB
Kisah Tan Malaka, salah satu tokoh revolusioner Indonesia. (Sumber: YouTube/Kilas Tokoh)

Kisah Tan Malaka, salah satu tokoh revolusioner Indonesia. (Sumber: YouTube/Kilas Tokoh)

POSKOTA.CO.ID - Tan Malaka, pahlawan nasional Indonesia dikenal sebagai sosok kompleks yang kisah hidupnya menjadi cermin perjalanan bangsa ini.

Lahir dengan nama asli Sultan Ibrahim pada 1897 di Pandan Gadang, Sumatera Barat, Tan Malaka tumbuh sebagai anak cerdas dari keluarga bangsawan Minang yang justru menolak kemewahan.

Semangat kritisnya tumbuh sejak kecil dan terus berkembang saat menempuh pendidikan di Bukittinggi, hingga akhirnya mendapat beasiswa belajar di Belanda.

Di Belanda, Tan Malaka belajar di Rick Quick School, sebuah sekolah guru untuk kaum pribumi terpilih dari Hindia Belanda.

Baca Juga: Kisah Salim Kancil: Dari Petani Biasa Menjadi Simbol Perlawanan Tambang Pasir Ilegal

Namun di balik gelar akademis itu, ia menemukan sesuatu yang jauh lebih penting yakni "kesadaran." Ia membaca karya Karl Marx, Lenin, dan pemikir Eropa lainnya. Dari situ, ia mempertanyakan nasib bangsanya, mengapa rakyat Indonesia dijajah, dan siapa yang akan memimpin perlawanan sejati.

Sepulang ke tanah air, Tan Malaka tak sekadar menjadi cendekiawan. Ia bergabung dengan Syarekat Islam, namun cepat berselisih paham dengan pimpinan yang dinilainya terlalu moderat. Tan Malaka percaya penjajahan tak bisa dilawan dengan kompromi, melainkan dengan revolusi total.

Perjalanan ini membawanya ke Partai Komunis Indonesia (PKI), di mana ia menjadi salah satu pemikir dan penggerak utama. Namun langkahnya terhenti sejenak pada 1922 saat Belanda menangkap dan mengasingkannya ke luar negeri.

Bagi Belanda, Tan Malaka adalah ancaman. Tapi pengasingan justru memperluas jangkauan perjuangannya. Selama lebih dari dua dekade, ia hidup sebagai buronan internasional, berpindah-pindah ke Filipina, Cina, Jepang, Thailand, hingga Uni Soviet. Ia menggunakan lebih dari 30 nama samaran untuk menghindari kejaran intelijen.

Baca Juga: Potret Suasana Stasiun Bekasi Tahun 1988 dan Jejak Sejarah Elektrifikasi Jalur sampai Jatinegara

Madilog: Warisan Pemikiran Abadi

Dalam pelariannya, Tan Malaka tak berhenti menulis. Salah satu karya terkenalnya, Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), menjadi buku filsafat kritis yang memperkenalkan rakyat Indonesia pada cara berpikir ilmiah dan progresif.

Namun Tan Malaka juga mengkritik PKI sendiri karena dianggap terlalu elitis dan tidak berpihak sepenuhnya kepada rakyat.

Inilah titik unik Tan Malaka, ia tak pernah nyaman di satu kelompok. Ia berbeda dengan kaum nasionalis yang memilih jalan diplomasi, tak cocok pula dengan komunis ortodoks yang kaku.

Tan Malaka menjadi ideolog "tanpa rumah," tetapi justru dari situ lahir pemikiran yang melampaui batas ideologi sempit.

Kembali Pulang, Ditolak Elit

Tahun 1942, Tan Malaka akhirnya kembali ke Indonesia, meskipun saat itu tanah air masih diduduki Jepang. Ia membentuk jaringan bawah tanah, mengajar, dan menyiapkan revolusi rakyat. Harapannya membuncah saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Namun realitas berkata lain.

Bung Karno dan Bung Hatta, dua proklamator, memilih jalan diplomasi demi mengamankan kemerdekaan dari ancaman Belanda. Tan Malaka menolak tegas. Ia membentuk Persatuan Perjuangan dengan semboyan "100% Merdeka," menuntut agar pemerintah tidak berkompromi dengan Belanda dan tetap mengandalkan kekuatan rakyat.

Posisi Tan Malaka dianggap ekstrem dan mengancam stabilitas politik. Ia pun ditangkap pemerintah sendiri, dituduh pemberontak. Padahal tujuan utamanya hanya satu, kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat.

Tragedi Blitar: Dibunuh Bangsanya Sendiri

Setelah dilepaskan, Tan Malaka memilih bergerak di bawah tanah. Tahun 1949, situasi semakin kacau karena agresi militer Belanda. Tan Malaka bergabung bersama laskar rakyat di Jawa Timur, tetap menulis dan mengorganisasi perlawanan dari bawah.

Namun di Blitar, nasib tragis menantinya. Tan Malaka ditangkap oleh Batalyon Sikatan, Divisi Siliwangi. Tanpa pengadilan dan investigasi, ia ditembak mati secara diam-diam.

Ironisnya, Tan Malaka yang puluhan tahun dikejar Belanda dan Jepang, justru gugur di tangan bangsanya sendiri, republik yang ia perjuangkan.

Berita kematiannya sempat disembunyikan. Makamnya tak bernisan, namanya dihapus dari buku sejarah, dan pemikirannya dilarang. Namun waktu berjalan. Tahun 1963, Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.


Berita Terkait


News Update