Usai kegiatan selesai, Pratama langsung dilarikan ke RSUD Abdul Moeloek, Bandar Lampung, dalam kondisi kritis.
Berdasarkan informasi medis, ia mengalami sejumlah luka di bagian leher, siku, dan perut atas, serta pembuluh darah yang menggumpal di kepala akibat trauma fisik.
Meski telah mendapatkan perawatan intensif, nyawanya tidak tertolong. Pratama dinyatakan meninggal dunia pada Senin, 28 April 2025, lima bulan pasca-kegiatan berlangsung.
Pihak keluarga, yang merasa kehilangan mendalam, mendesak agar investigasi dilakukan secara menyeluruh dan transparan.
Reaksi Publik
Kematian Pratama segera memicu reaksi keras dari publik, khususnya di media sosial.
Tagar #StopDiksarBrutal dan #KeadilanUntukPratama menjadi tren, mencerminkan kegeraman masyarakat terhadap praktik kekerasan yang masih terjadi dalam kegiatan mahasiswa di institusi pendidikan tinggi.
Sejumlah warganet dan aktivis pendidikan menyoroti bagaimana kegiatan organisasi di kampus seringkali dibalut dengan narasi pembinaan mental, namun dalam praktiknya sarat dengan kekerasan fisik dan psikis.
Praktik senioritas yang menyimpang dinilai telah menormalisasi tindakan yang melanggar hak asasi dan keselamatan peserta didik.
Pakar pendidikan tinggi dari Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Lestari Wahyuningrum, menyatakan bahwa kampus harus menjadi zona aman dan inklusif.
"Tidak ada alasan membenarkan kekerasan atas nama penggemblengan mental. Pendidikan adalah proses pembimbingan, bukan penyiksaan," ujarnya dikutip pada Minggu 1 Juni 2025.
Tuntutan Terhadap Kampus
Universitas Lampung telah menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Pratama dan menyatakan akan membentuk tim investigasi independen.