Lebih lanjut, Rocky menyoroti konteks waktu dan tempat kejadian perkara yang disebutnya terjadi ketika Jokowi masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia dan berdomisili di Istana.
Hal ini, menurutnya, memperkuat argumen bahwa pertanyaan publik terkait ijazah merupakan bentuk kontrol terhadap pejabat publik, bukan tindak pidana.
“Padahal, sebetulnya deliknya itu terjadi—tempus delicti-nya dan locus delicti-nya—bahkan itu terjadi di Istana. Ketika Jokowi berumah di Istana, bukan di Solo. Berumah di Jakarta sebagai kepala negara,” jelas Rocky.
Ia juga mengkritik keputusan Jokowi yang tidak segera menjawab isu tersebut saat masih menjabat sebagai presiden.
Baca Juga: Tunggu Hasil Labfor, Polisi Gelar Perkara Kasus Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi
“Jadi masalahnya, kenapa tidak dijawab ketika presiden masih menjabat supaya tidak ada kegaduhan bertahun-tahun?”
Rocky menyimpulkan bahwa isu keaslian ijazah Jokowi bukan sekadar polemik pribadi, melainkan persoalan administratif yang menyangkut legitimasi dalam pencalonan presiden. Menurutnya, pertanyaan warga negara seharusnya dipandang sebagai bentuk pengawasan, bukan penghinaan atau penyebaran hoaks.
“Itu ijazah yang harus diperlihatkan, bukan dalam upaya untuk menuduh atau bersifat kriminal,”
Dengan pernyataan tersebut, Rocky Gerung memperkirakan bahwa persoalan ini tidak akan selesai dalam waktu dekat dan akan menimbulkan perdebatan akademis serta hukum yang berkepanjangan.