Pertumbuhan Paylater Tersendat, Apakah Pinjol Ilegal Kini Jadi Primadona?

Senin 12 Mei 2025, 09:29 WIB
Aplikasi pinjaman online di tengah melemahnya daya beli masyarakat akibat badai PHK dan maraknya pinjol ilegal. (Sumber: Pinterest)

Aplikasi pinjaman online di tengah melemahnya daya beli masyarakat akibat badai PHK dan maraknya pinjol ilegal. (Sumber: Pinterest)

POSKOTA.CO.ID - Fenomena penurunan kredit buy now pay later (BNPL) dari sektor perbankan dan multifinance tidak dapat dilepaskan dari sejumlah faktor struktural, termasuk membanjirnya pinjaman online ilegal yang mengganggu ekosistem keuangan digital.

Penurunan daya beli masyarakat serta pemanfaatan tabungan untuk konsumsi menjadi indikator lain bahwa masyarakat sedang menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan pada kuartal awal 2025.

Pengaruh Pinjol Ilegal terhadap Penurunan Utang BNPL

Turunnya volume utang masyarakat pada skema pembiayaan buy now pay later (BNPL) di sektor perbankan dan perusahaan pembiayaan (multifinance) menimbulkan sejumlah pertanyaan penting mengenai arah industri keuangan digital Indonesia.

Baca Juga: Kapal Wisata Tiga Putra Tenggelam di Perairan Bengkulu, Tujuh Wisatawan Tewas

Salah satu faktor signifikan yang disebut turut memengaruhi tren ini adalah menjamurnya pinjaman online ilegal, atau yang lebih dikenal dengan sebutan pinjol ilegal.

Dwi Raihan, peneliti dari Next Policy, menyatakan bahwa kemudahan akses yang ditawarkan pinjol ilegal menjadi alasan utama masyarakat lebih memilih layanan tersebut dibandingkan lembaga keuangan resmi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Tak dapat dipungkiri juga banyaknya pinjol ilegal turut memengaruhi pertumbuhan industri BNPL dan multifinance. Fintech ilegal merusak persaingan karena memberikan kelonggaran lebih dibanding perusahaan berizin, serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan legal,” ujar Dwi kepada inilah.com, Minggu, 11 Mei 2025.

Keberadaan pinjol ilegal ini menciptakan distorsi pasar. Pelaku usaha legal, yang harus tunduk pada ketentuan suku bunga, tata kelola risiko, dan perlindungan konsumen dari OJK, kesulitan bersaing dengan entitas ilegal yang beroperasi tanpa pengawasan dan sering kali memanfaatkan celah digital.

Perlambatan Pertumbuhan Kredit: Fakta dan Data

Data yang dirilis OJK menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit BNPL pada sektor perbankan mengalami perlambatan.

Per Maret 2025, total kredit paylater perbankan tercatat mencapai Rp22,78 triliun, tumbuh 32,18% secara tahunan (year-on-year/yoy). Namun, angka ini menurun dibandingkan bulan sebelumnya, Februari 2025, yang mencatat pertumbuhan 36,60% yoy.

Jumlah rekening aktif pada layanan BNPL perbankan mencapai 24,56 juta pada periode yang sama. Walaupun jumlahnya besar, laju pertumbuhan yang menurun menjadi indikasi awal adanya ketidakstabilan dalam segmentasi pasar ini.

Sementara itu, sektor multifinance mencatat pertumbuhan lebih tinggi secara nominal pada Maret 2025, yaitu sebesar Rp8,22 triliun atau tumbuh 39,3% yoy. Namun angka ini juga mengalami penurunan tajam dibanding Februari 2025 yang mencatat pertumbuhan hingga 59,1% yoy.

“Perlambatan ini tidak hanya menunjukkan jenuhnya pasar, tetapi juga mencerminkan menurunnya kemampuan masyarakat dalam mengakses pembiayaan formal,” jelas Dwi Raihan.

Daya Beli Melemah: Efek Riil dari Badai PHK

Selain pengaruh eksternal dari pinjaman ilegal, faktor internal seperti melemahnya daya beli masyarakat turut memperlambat pertumbuhan sektor pembiayaan.

Pada kuartal I 2025, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Ini merupakan sinyal kuat bahwa masyarakat mengalami tekanan ekonomi.

Menurut Dwi, salah satu penyebab utama melemahnya konsumsi adalah badai PHK yang terjadi secara masif sejak awal tahun. Gelombang pemutusan hubungan kerja di sektor industri manufaktur, ritel, dan teknologi membuat banyak keluarga kehilangan sumber penghasilan utama.

Sebagai dampaknya, masyarakat memilih untuk tidak menambah beban utang, bahkan cenderung menguras tabungan yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian. “Fenomena penggunaan tabungan dengan nominal di bawah Rp100 juta terus mengalami penurunan sejak Januari 2025. Ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih menggunakan cadangan keuangan yang ada, daripada meminjam,” kata Dwi.

Ketimpangan antara Perilaku Konsumen dan Lembaga Keuangan

Ketidaksesuaian antara perilaku konsumsi masyarakat dengan ekspektasi penyedia pembiayaan formal semakin memperlihatkan tantangan struktural dalam ekosistem keuangan nasional.

Sementara lembaga keuangan berharap masyarakat tetap menggunakan layanan mereka untuk konsumsi produktif, masyarakat justru memilih strategi bertahan dengan memanfaatkan dana sendiri.

Langkah ini memang memperkecil risiko kredit macet dari sisi pengguna, namun bagi lembaga pembiayaan legal, hal ini merupakan sinyal berbahaya. Ketika permintaan menurun, portofolio kredit pun akan stagnan atau bahkan menurun.

“Yang perlu diperhatikan, industri pembiayaan kita sangat sensitif terhadap gejolak ekonomi makro dan ketidakpastian regulasi. Jika pinjol ilegal tidak segera ditindak, maka kerusakan jangka panjang pada kepercayaan publik terhadap keuangan digital bisa terjadi,” tambah Dwi.

Peran OJK dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Digital

Dalam menghadapi kondisi ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya melakukan penertiban terhadap praktik pinjaman ilegal.

Satgas PASTI (Penanganan Aktivitas Keuangan Ilegal) secara berkala merilis daftar aplikasi pinjol ilegal dan menindak tegas penyelenggara yang tidak berizin.

Namun, tantangan yang dihadapi tidak ringan. Banyak aplikasi pinjol ilegal yang berbasis di luar negeri, menggunakan teknik distribusi peer-to-peer melalui media sosial, dan bahkan berganti nama secara berkala untuk menghindari deteksi otoritas.

Di sisi lain, OJK juga dituntut untuk memberikan ruang inovasi yang cukup bagi lembaga keuangan legal agar mampu bersaing secara adil dan fleksibel dengan pinjol ilegal. Ini mencakup penyederhanaan regulasi teknis, penguatan sistem perlindungan konsumen, serta pemberdayaan digitalisasi layanan.

Baca Juga: Stop Kebiasaan Berhutang di Pindar, Begini Caranya

Solusi dan Arah Kebijakan Kedepan

Diperlukan kebijakan komprehensif lintas sektor untuk menanggulangi berbagai permasalahan ini. Penguatan literasi keuangan menjadi elemen mendesak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak tergiur oleh iming-iming kemudahan pinjol ilegal.

Pemerintah juga harus memperkuat jaring pengaman sosial dan mempercepat penyerapan tenaga kerja agar masyarakat tidak terjerat kebutuhan konsumtif sesaat.

Adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam pemantauan aktivitas keuangan digital bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mendeteksi dan mencegah operasional pinjol ilegal lebih dini.

Fenomena penurunan utang BNPL dari sektor perbankan dan multifinance tidak dapat dilepaskan dari dua faktor utama keberadaan pinjaman online ilegal yang merusak iklim persaingan dan melemahnya daya beli masyarakat akibat badai PHK.

Solusi atas masalah ini memerlukan sinergi antara lembaga keuangan, otoritas pengawas, dan konsumen untuk membangun ekosistem pembiayaan digital yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.

Berita Terkait

News Update