Selain itu, tindakan tersebut juga tidak boleh membahayakan pelakunya dan tidak termasuk dalam program kontrasepsi permanen.
Meski demikian, MUI menyatakan bahwa hingga saat ini teknologi rekanalisasi masih tergolong sulit dan belum mampu memberikan hasil yang sepenuhnya efektif dalam memulihkan kesuburan pria.
“Faktanya, prosedur rekanalisasi hingga saat ini masih susah dilakukan dan belum bisa menjamin fungsi reproduksi kembali normal seperti semula,” ungkap Muiz.
Selain itu, proses rekanalisasi juga dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga tingkat keberhasilannya tidak bisa mencapai angka 100 persen. Ditambah lagi, biaya yang diperlukan untuk prosedur ini jauh lebih mahal dibanding operasi vasektomi itu sendiri.
Atas dasar itulah, MUI meminta agar pemerintah tidak gencar mengampanyekan vasektomi secara terbuka dan massal kepada masyarakat.
Baca Juga: Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Ajukan Vasektomi untuk Penerima Bansos, Begini Tanggapan Mensos Gus Ipul
Sebelumnya, Dedi Mulyadi sempat memicu perdebatan publik dengan ide bahwa vasektomi bisa dijadikan persyaratan bagi pria yang ingin menerima bantuan dari pemerintah daerah. Ia bahkan menyatakan siap memberi insentif sebesar Rp 500 ribu bagi warga yang bersedia menjalani prosedur tersebut.
Alasan Dedi sederhana, biaya persalinan, khususnya melalui operasi caesar, seringkali membebani pemerintah daerah karena jumlahnya bisa mencapai Rp 15 juta hingga Rp 25 juta per persalinan, yang umumnya terjadi pada kelahiran anak keempat atau kelima.
Menurut Dedi, tingginya angka kelahiran turut memperparah angka kemiskinan karena bantuan sosial pemerintah lebih banyak tersedot untuk keluarga dengan anak banyak.
Baca Juga: Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Wacanakan Vasektomi Jadi Syarat Penerima Bantuan Sosial
Ia menilai, suami seharusnya turut bertanggung jawab dalam program keluarga berencana, bukan hanya dibebankan kepada perempuan.