Densus 88 Waspadai Penyebaran Paham Neo Nazi dan Supremasi Kulit Putih via Gim Online

Rabu 31 Des 2025, 12:42 WIB
Ilustrasi anak terpapar paham Neo Nazi hingga White Supremacy. (Sumber: Freepik/@freepik)

Ilustrasi anak terpapar paham Neo Nazi hingga White Supremacy. (Sumber: Freepik/@freepik)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mewaspadai penyebaran paham ekstrem Neo Nazi dan White Supremacy dengan sasaran anak-anak lewat gim online.

Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana mengatakan, 68 anak terpapar paham ekstrem sepanjang 2025.

"Ini diperoleh dari hasil pendalaman terhadap 68 anak yang terpapar paham ekstrem sepanjang tahun 2025. Puluhan anak tersebut tersebar di 18 provinsi dan terhubung melalui berbagai platform digital," kata Mayndra saat dikonfirmasi, Rabu, 31 Desember 2025.

Menurut Mayndra, proses paparan tidak terjadi secara langsung, melainkan melalui interaksi di komunitas daring tertentu, termasuk kelompok bertema true crime serta permainan online yang menampilkan unsur kekerasan ekstrem. Kata dia, paparan berasal dari berbagai platform, mulai dari komunitas true crime hingga game online yang mengandung unsur kekerasan atau gore.

Baca Juga: Sepanjang 2025, Densus 88 Tangani 51 Kasus Terorisme dan Pertahankan Zero Attack

Meski begitu, ia menegaskan, anak-anak tersebut tidak sepenuhnya memahami ideologi Neo Nazi dan White Supremacy sebagai keyakinan ideologis. Paham tersebut lebih banyak digunakan sebagai pembenaran atas perilaku kekerasan yang mereka lakukan.

“Mereka menyatakan bahwa paham itu hanya dijadikan legitimasi untuk melampiaskan rasa dendam, ketidaksukaan, atau dorongan melakukan kekerasan,” ujarnya.

Dari hasil pemeriksaan, Densus 88 juga menemukan sebagian besar senjata yang dimiliki anak-anak tidak asli. Senjata umumnya berupa senjata mainan atau senjata tajam yang diperoleh dengan mudah melalui transaksi daring.

“Mayoritas senjata berupa mainan dan pisau yang dibeli secara online,” ucapnya.

Baca Juga: Satpol PP Bekasi Amankan 20 Gereja Jelang Natal, Gandeng Densus 88 Antisipasi Radikalisme

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen (Purn.) Eddy Hartono mencatatkan jumlah anak yang terpapar radikalisme di ruang digital jauh lebih besar.

Sepanjang 2025, BNPT menemukan 112 anak di 26 provinsi teradikalisasi melalui game online dan media sosial. Mereka terpapar konten radikal, mengalami kerentanan psikologis, hingga terlibat dalam pola lone actor atau pelaku tunggal tanpa interaksi fisik dengan jaringan teror.

“Anak-anak yang terpapar menjadi perhatian serius negara. BNPT bersama tim koordinasi perlindungan khusus bagi anak korban jaringan terorisme terus memastikan rehabilitasi, pendampingan psikososial, dan perlindungan hak anak berjalan optimal,” katanya.

Selain itu, Eddy juga mengungkapkan, kelompok teror dan simpatisan ISIS maupun Ansharuh Daulah kini secara aktif menyasar anak-anak dan remaja dalam proses radikalisasi. Dalam sejumlah kasus, anak yang direkrut tidak pernah bertemu langsung dengan perekrut dan melakukan baiat secara mandiri.

Adapun usia anak yang terpapar rata-rata 13 tahun, dengan usia termuda 10 tahun dan tertua 18 tahun. Angka ini jauh lebih muda dibandingkan rata-rata pelaku terorisme di Indonesia pada periode 2014–2019 yang berada di rentang usia 28 hingga 35 tahun. Kata dia, kelompok ekstrem memanfaatkan kerentanan psikologis remaja, terutama pada aspek emosi dan pola pikir.

"Ini diperkuat dengan temuan bahwa sebagian besar anak yang terpapar memiliki trauma emosional, seperti pengalaman perundungan serta kondisi keluarga yang tidak utuh," tuturnya.


Berita Terkait


News Update