“Konsep “dwitunggal” adalah perintah konstitusi. Perlu juga membangun dwitunggal pemimpin (pejabat) dan rakyatnya, mengingat rakyat sebagai sumber kekuasaan, aspirasi dan penyeimbang kekuasaan.,”
-Harmoko-
-
Pada 1 Desember enam puluh sembilan tahun lalu, tepatnya 1956, terdapat peristiwa sejarah perjalanan politik negeri ini. Sejarah mencatat, pada hari itu Bung Hatta secara konstitusional resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI.
Keputusan Bung Hatta untuk mundur dipengaruhi banyak hal, poin utamanya adalah perbedaan pandangan dengan Presiden Soekarno dalam menjalankan sistem pemerintahan.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menuju Pilkada Tanpa Transaksi
Banyak hal lainnya yang menjadi pertimbangan sehingga Bung Hatta memilih untuk mundur. Sejumlah sumber sejarah telah mengungkapkan ke publik.
Kehendak pengunduran diri sudah mencuat sejak tahun 1955, dengan mengajukan surat permohonan kepada parlemen, tetapi tidak direspons.
Pada 23 November 1956, surat permohonan pengunduran diri kembali diajukan kepada parlemen, kemudian diproses dan disetujui, terhitung mulai 1 Desember 1956, yang dilegalkan melalui Keppres No 13 Tahun 1957.
Pengunduran diri ini menandai tanggalnya konsep dwitunggal kepemimpinan Soekarno- Hatta yang telah berjalan selama 11 tahun lamanya sejak Indonesia merdeka.
Meski begitu dwitunggal Soekarno- Hatta, kolaborasi keduanya menjadi teladan bangsa yang tak akan sirna bagaimana seharusnya mengelola negara, menjalankan sistem pemerintahan berikut kebijakan yang semestinya digulirkan demi kepentingan rakyat.
Tidak terbantahkan, dwitunggal telah teruji berfungsi sebagai simbol kuat membangun persatuan dan kesatuan nasional. Kolaborasi kedua tokoh bangsa ini menunjukkan bahwa perbedaan pandangan politik dapat disatukan demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Kepentingan pribadi dan kelompok manapun harus luluh oleh kepentingan nasional. Itulah kepemimpinan dengan mengedepankan nilai- nilai luhur falsafah bangsa kita, Pancasila.
Bicara dwitunggal sejatinya tak hanya di ranah politik dan pemerintahan, di dunia seni dan kebudayaan, konsep dwitunggal sering dijadikan acuan dalam berkarya. Sebut saja dwitunggal sebagai bentuk filosofi dua wajah yang sama dalam bentuk tarian legong keraton di Bali.
Baca Juga: Kopi Pagi: Mengajar dengan Cinta
Makna ‘dwitunggal’ diartikan sebagai dua keindahan menjadi satu kekuatan, gerakan tarian dan suara musik tradisional.
Masyarakat dan kebudayaan juga bentuk lain dari dwitunggal karena saling melengkapi. Keduanya tak dapat dipisahkan. Masyarakat membutuhkan kebudayaan sebagai pedoman hidup dan identitas, sementara kebudayaan hanya bisa hidup dan berkembang melalui praktik yang dijalankan oleh masyarakat.
Lantas bagaimana konsep dwitunggal negara dan rakyat, atau pemimpin (pejabat) dan rakyatnya? Jawabnya tentu akan beragam. Namun konsep dasarnya adalah sama, keduanya tak dapat dipisahkan, saling melengkapi.
Kita tahu, negara adalah entitas yang dibentuk oleh rakyat dan untuk rakyat.
Karena kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat, maka pemerintah berkewajiban menjalankan kekuasaannya demi kepentingan rakyat. Itulah inti demokrasi yang diwujudkan dalam pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Maknanya, para pejabat, pemimpin harus selalu mendengarkan dan mewujudkan aspirasi rakyat. Keputusan yang diambil merupakan hasil dari pemahaman mendalam akan kebutuhan dan keinginan rakyat, bukan semata – mata kebijakan dari atas demi kekuasaan, kepentingan pribadi dan kerabatnya. Bukan egosentris, tetapi ego nasional.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menyiapkan Anak Masa Depan
Cukup beralasan,jika pemimpin harus mampu menyerap suara rakyat, mampu merasakan denyut nadi masyarakat, kemudian mengaplikasikannya melalui kebijakan yang nyata – nyata memberi banyak manfaat bagi masyarakat, seperti sering dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Di sisi lain, konsep kepemimpinan dwitunggal adalah perintah konstitusi. Para pemimpin mulai dari presiden dan wakil, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dipilih satu paket oleh rakyat melalui pemilu.
Begitu juga hendaknya membangun konsep dwitunggal pejabat dan rakyatnya, mengingat rakyat sebagai sumber kekuasaan, aspirasi dan penyeimbang kekuasaan.
Meski begitu, dinamika dapat berkembang, tantangan bisa menghadang, terusik konflik dalam mengimplementasikan konsep dwitunggal dimaksud akibat beda pandangan, kepentingan dan aspirasi.
Setidaknya terdapat tiga prasyarat mempertahankan kelanggengan dwitunggal rakyat- pejabat.
Baca Juga: Kopi Pagi: Toleransi Membangun Harmoni
Pertama, membangun kesetaraan antara pejabat dan rakyat.Ada kesadaran bahwa menjadi pejabat karena dipilih oleh rakyat, karenanya mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dengan menempatkannya sebagai subjek, ikut serta dalam pengambilan keputusan, bukan semata sebagai objek.
Kedua, menjaga keseimbangan antara pemimpin dan warganya dengan membangun kemitraan dalam mewujudkan cita – cita nasional dan daerahnya. Konsep dwitunggal diyakini tidak akan tanggal, selama masih mengedepankan keseimbangan antara berbagai potensi dan perbedaan yang ada, baik dalam diri individu pejabat maupun dalam masyarakat guna menciptakan harmoni. Keseimbangan antara kehendak menepati janji politik kepada konstituennya dengan pemenuhan kebutuhan rakyat sebagaimana diaspirasikan saat ini.
Ketiga, saling melengkapi. Pejabat hendaknya mengembangkan sikap empati kepada rakyat, bukan menghina, apalagi menyakiti. Sikap empati ini diaktualisasikan melalui kebijakan yang mampu merespons kebutuhaan rakyat, bukan kepentingan pejabat dan sekelompok elite.
Begitu juga rakyat hendaknya menyampaikan aspirasi sesuai kebutuhan riilnya, yang menjadi prioritas, bukan tanpa batas. Sedapat mungkin ikut berkontribusi membawa kemajuan bagi lingkungan sekitarnya, setidaknya mengembangkan potensi diri dan keluarganya. (Azisoko).
