Transportasi Jadi Biang Polusi Udara Jakarta, Pemprov Diminta Tindak Tegas Industri dan Kendaraan 'Ngebul'

Kamis 06 Nov 2025, 20:30 WIB
Ilustrasi, lanskap kota yang diselimuti polusi udara di Jakarta, Jum'at, 26 September 2025. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

Ilustrasi, lanskap kota yang diselimuti polusi udara di Jakarta, Jum'at, 26 September 2025. (Sumber: Poskota/Bilal Nugraha Ginanjar)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pengamat lingkungan, Ahmad Safrudin, menilai bahwa tingginya tingkat polusi udara di Jakarta disebabkan oleh banyak faktor, dengan kendaraan bermotor menjadi kontributor utama.

Ia menekankan pentingnya tindakan tegas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menekan sumber emisi dari berbagai sektor.

“Ya, terutama karena populasi kendaraan yang beroperasi di jalan sangat tinggi. Termasuk kemacetan yang makin parah setiap hari. Otomatis, emisi gas buang atau polutan juga meningkat,” ujar Ahmad kepada Poskota, Kamis, 6 November 2025

Menurutnya, hasil inventarisasi menunjukkan bahwa sektor transportasi menyumbang sekitar 47 persen dari total emisi pencemar udara di Jakarta.

Baca Juga: Atasi Polusi Udara, DPRD DKI Dukung Perbanyak RTH

Sementara industri menyumbang sekitar 22 persen, dan kegiatan domestik, seperti penggunaan kompor di rumah tangga, restoran, atau hotel, berkontribusi sekitar 11 persen.

Selain itu, polusi udara juga dihasilkan dari debu jalanan, pembakaran sampah, aktivitas konstruksi gedung, dan pembangkit listrik, baik yang berada di Jakarta maupun di wilayah penyangga seperti Bekasi, Karawang, hingga Cirebon.

“Jadi ada sekitar tujuh sumber utama polusi di Jakarta. Beberapa bahkan berasal dari luar Jakarta, tapi dampaknya tetap terasa di Ibu Kota,” ucap Ahmad.

Ahmad menekankan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan Pemprov DKI adalah pengawasan ketat terhadap industri.

“Kalau emisi dari cerobong asap industri melampaui baku mutu, ya harus ditindak. Harus ada penegakan hukum,” kata Ahmad.

Selain industri, kendaraan bermotor juga harus menjadi fokus pengendalian. Menurutnya, penegakan hukum terhadap kendaraan yang tidak lulus uji emisi bukan hanya kewenangan kepolisian lalu lintas, tetapi juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Dinas Lingkungan Hidup.

“Kalau polisi tidak melakukan razia emisi, seharusnya PPNS yang turun. Mereka punya kewenangan untuk menyidik pelanggaran pencemaran udara dari kendaraan bermotor,” kata dia.

Lebih jauh, Ahmad menyarankan agar Pemprov DKI berani mengambil langkah pembatasan kendaraan pribadi.

“Program ganjil-genap harus diperluas. Ke depan, DKI juga perlu menerapkan sistem jalan berbayar atau road pricing di ruas-ruas jalan yang sudah memiliki transportasi publik seperti MRT, LRT, KRL, atau bus Transjakarta,” katanya.

Menurut dia, kebijakan road pricing bukan untuk menarik pendapatan daerah, melainkan untuk mengurangi kemacetan dan polusi udara.

“Seseorang yang menggunakan kendaraan pribadi di jalan umum seharusnya membayar karena dia berpotensi menambah kemacetan dan pencemaran udara,” ungkap dia.

Ahmad juga menilai bahwa pengguna kendaraan pribadi harus “dipersulit” agar mau beralih ke angkutan umum massal, bersepeda, atau berjalan kaki.

“Kalau pengguna kendaraan pribadi berkurang, otomatis kemacetan menurun, dan polusi udara pun ikut berkurang,” ujar dia.

Baca Juga: Pemprov Jakarta Kembangkan Sistem Peringatan Dini Polusi Udara

Selain pembatasan kendaraan, Ahmad Safrudin mendesak Pemprov DKI melarang peredaran bahan bakar minyak (BBM) berkualitas rendah yang dianggap melanggar regulasi lingkungan hidup.

“Pertalite RON 90 dan Biosolar itu tidak sesuai dengan teknologi kendaraan bermotor Euro 4 yang sudah wajib di Indonesia sejak 2018. Artinya, penjualan BBM itu melanggar hukum,” ucapnya.

Ia menjelaskan, kendaraan dengan standar emisi Euro 4 seharusnya hanya menggunakan BBM dengan spesifikasi tinggi, seperti Pertamax Turbo atau Green Pertamax, sementara untuk kendaraan diesel seharusnya memakai Pertadex High Quality.

“Kalau BBM rendah oktan seperti Pertalite dan Biosolar tetap beredar, emisi gas buang kendaraan akan tetap tinggi. Jadi gubernur DKI harus berani melarang penjualannya di wilayah Jakarta,” katanya.

Ahmad juga menyoroti lambatnya realisasi roadmap kendaraan listrik di Jakarta. Menurutnya, target konversi armada Transjakarta ke bus listrik masih jauh dari harapan.

“Harusnya sejak 2019 dimulai dengan 100 unit, lalu bertambah jadi 600 unit di 2020, dan terus naik tiap tahun. Tapi realitanya sampai sekarang baru 300 unit yang beroperasi,” ujar Ahmad.

Ia menyebut, target tahun 2025 adalah 500 unit bus listrik beroperasi, dan pada tahun 2027 50 persen armada Transjakarta sudah harus listrik. Kemudian, seluruh angkutan umum DKI, termasuk angkot dan mikrotrans, wajib beralih ke listrik pada tahun 2030.

“Gubernur harus memastikan roadmap ini tidak meleset lagi. Karena kalau semua armada umum sudah listrik, pencemaran udara di Jakarta bisa turun drastis,” katanya.

Selain bus, ia juga mendorong agar truk pengangkut sampah Dinas Lingkungan Hidup turut dikonversi menjadi kendaraan listrik.

“Sekarang sudah ada teknologi truk listrik buatan dalam negeri, bahkan Universitas Indonesia sudah membuat prototipe-nya. Jadi sangat memungkinkan kalau DKI mau memproduksi sendiri,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ahmad mengingatkan pentingnya pengaturan jam operasional kendaraan berat di Jakarta.

“Truk logistik seharusnya hanya boleh masuk kota antara pukul 8 malam sampai 6 pagi. Tapi kenyataannya banyak yang melanggar, bahkan dikawal polisi. Ini yang harus ditertibkan,” ungkap Ahmad.

Menurut dia, pembatasan ini penting agar lalu lintas siang hari tidak semakin macet dan pencemaran udara tidak meningkat. Hal serupa, katanya, juga berlaku bagi truk pengangkut sampah.

“Angkutan sampah sebaiknya beroperasi malam hari, bukan siang. Kalau siang malah menambah kemacetan dan polusi,” kata dia. (cr-4)


Berita Terkait


News Update