“Kami melakukan pemantauan selama 12 bulan menggunakan alat perangkap hujan. Dari situ terlihat bahwa mikroplastik yang jatuh ke pesisir utara Jakarta berasal dari udara,” jelas Reza, saat dikonfirmasi, Sabtu, 18 Oktober 2025.
Menurut Reza, sumber mikroplastik di udara berasal dari aktivitas manusia, mulai dari sampah plastik yang terurai akibat panas matahari, gesekan, hingga pembakaran terbuka, hingga produk-produk kecil seperti serat tekstil dan sisa ban kendaraan.
Plastik besar yang terpapar lingkungan lama-kelamaan akan pecah menjadi partikel sangat kecil, bahkan lebih halus daripada debu, dan sulit terlihat oleh mata.
“Pada musim kemarau, partikel plastik yang sudah kecil ini terbawa angin dan menyebar ke udara. Saat musim hujan, mikroplastik tersebut ikut turun bersama air hujan ke daratan,” kata Reza.
Menurut Reza, paparan mikroplastik dapat menimbulkan sejumlah gangguan kesehatan. Sebab jika terserap melalui udara, mikroplastik bisa menyebabkan iritasi sebagai dampak langsung.
Dalam jangka panjang, bisa memicu stres oksidatif, peradangan, gangguan metabolik, hingga sistem imun maupun kardiovaskular. Bahkan mikroplastik juga dapat menjadi media pembawa polutan lain seperti logam berat dan pestisida.
“Debu bisa menempel pada mikroplastik atau sebaliknya. Jadi, ia bisa membawa bahan kimia berbahaya ke dalam tubuh manusia,” jelas Reza.
Lebih lanjut, semakin banyak sampah plastik yang dibakar terbuka, semakin tinggi pula kadar mikroplastik di udara. Sampah plastik dibedakan berdasarkan ukuran, makroplastik berukuran lebih dari 2,5 cm, mesoplastik antara 2,5 cm hingga 0,5 cm, serta mikroplastik berukuran kurang dari 0,5 cm.
Partikel mikroplastik berukuran sekitar 500 mikron (0,5 mm) masih bisa terlihat sekilas, tetapi yang lebih kecil dari itu sulit terlihat dan bisa lebih halus daripada debu.
"Penelitian kami memang awalnya memang berlaku di Jakarta yang sekarang ini sedang berlanjut ada di 18 kota besar yang ada di Indonesia. Jakarta ini sendiri jadi bukti awal dan yang paling jelas sejauh ini," beber Reza.
Meski demikian, Reza menegaskan bahwa tidak berarti setiap tetes air hujan otomatis beracun. Namun pihaknya menekankan bahwa hasil penelitian ini merupakan temuan ilmiah yang perlu menjadi dasar kewaspadaan, bukan kepanikan.
Kemudian untuk mengurangi risiko paparan, masyarakat disarankan menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan.
