Tak hanya itu, ketika Poskota naik ke lantai dua dengan tangga yang terbuat dari kayu hampir reyot itu.
Terdapat satu kamar dengan ukuran 1x2 yang sudah ditumpuki berbagai macam pakaian, galon kosong bahkan bak mandi. Tidak ada ruang nyaman untuk tidur bagi keluarga tersebut.
Kafiah mengaku, telah tinggal di rumahnya itu dan menjalani keseharian tidur secara bergantian dengan keluarganya, selama 6 dekade atau sudah 5 generasi.
"Saya tinggal di situ udah lama sih Saya dari bayi di situ saya udah 60 tahun sekarang sampai emak-bapak saya juga udah meninggal, jadi saya tinggal di situ," kata Kafiah.
Dia menyebut, untuk siang hari biasanya jadwal tidur untuk kakaknya dan anak-anaknya. Ketika malam tiba, jadwal tidur bagi anak dan cucunya.
"Karena yang lain kan pada ngamen, kalau siang yang lain. Nah, kalau malam mereka (anak dan cucu) udah pada pulang," ujarnya.
Dikatakan Kafiah saat tidur malam hari, dirinya harus berhimpitan bersama keluarganya di ruangan kecil tersebut.
"Kita juga tidur desak-desakan himpit-himpitan, kalau ada kipas mah mending," ungkapnya.
Lebih lanjut, Kafiah yang kesehariannya berdagang sebagai penjual seblak pada siang hingga sore hari itu, mengaku hanya dapat penghasilan Rp60 ribu per hari.
"Paling banyak juga Rp100 ribu, kalau misalnya anak-anak atau cucu pada ngamen kan misalnya nih lumayan bisa beli beras patungan buat masak. tapi kalau mereka ngamen sepi yah yaudah," ujarnya.
Kafiah hanya bisa berharap, Pemerintah Jakarta dapat melakukan renovasi rumahnya yang ditinggali oleh 12 orang tersebut.
"Ya harapan saya sih bagi pemerintah supaya inilah ada peda bongkar gitu apa dirapihkan lagi tuh direnovasi, supaya kagak roboh aja. kan juga pintu saya udah rusak udah nggak inilah maksudnya udah sempit banget nggak bisa ngapa-ngapain," ucap dia.