Pakar Beberkan Alasan Masyarakat tidak Suka Sirine dan Strobo di Jalan Raya

Minggu 21 Sep 2025, 15:53 WIB
Fenomena “STOP TOT TOT… WUK WUK” jadi simbol perlawanan masyarakat terhadap penggunaan strobo dan sirine yang arogan di jalan. (Sumber: Unplash)

Fenomena “STOP TOT TOT… WUK WUK” jadi simbol perlawanan masyarakat terhadap penggunaan strobo dan sirine yang arogan di jalan. (Sumber: Unplash)

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menilai, bahwa meningkatnya penolakan publik terhadap penggunaan sirine dan strobo tidak lepas dari sejumlah penyebab yang bersifat sistemik dan sosial.

Sirine dan lampu rotator (strobo) yang seharusnya digunakan dalam kondisi darurat, justru kerap menjadi sumber keresahan masyarakat.

Djoko menjelaskan, salah satu alasan utama masyarakat menolak sirine dan strobo adalah penyalahgunaannya oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.

Ia menilai banyak kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam kondisi darurat menggunakan alat tersebut hanya untuk menerobos kemacetan.

“Masyarakat melihat strobo bukan lagi sebagai alat keselamatan, tapi sebagai simbol hak istimewa di jalan. Ini menciptakan rasa ketidakadilan,” ujar Djoko kepada Poskota, Minggu, 21 September 2025.

Baca Juga: Korlantas Hentikan Sementara Penggunaan Strobo dan Sirene

Lanjut Djoko, sirine yang dibunyikan sembarangan, terutama di wilayah padat penduduk atau saat malam hari, menimbulkan gangguan kenyamanan yang nyata.

Kebisingan ini tidak hanya menyebabkan stres dan kelelahan mental, tapi juga bisa berdampak pada kesehatan, terutama bagi lansia, anak-anak, dan orang sakit.

“Banyak warga merasa ketenangan hidupnya terganggu, dan ini bukan hal sepele. Sirine seharusnya hanya dibunyikan saat memang benar-benar darurat,” kata Djoko.

Selain itu, kata Djoko, lemahnya penegakan aturan juga membuat penyalahgunaan marak terjadi. Walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 telah mengatur secara tegas siapa saja yang berhak menggunakan sirine dan rotator, Djoko menilai lemahnya penegakan hukum.

Bahkan, sanksi yang hanya berupa kurungan maksimal satu bulan atau denda Rp250 ribu dinilai terlalu ringan.

“Perlu revisi aturan agar ada efek jera. Tanpa itu, pelanggaran akan terus berulang,” ucap Djoko.

Imbasnya, lanjut Djoko, masyarakat cenderung tidak langsung merespons ketika mendengar suara sirine di jalan. Ini terjadi karena sirine kerap digunakan bukan dalam situasi darurat.

Akibatnya, saat benar-benar dibutuhkan, misalnya untuk ambulans atau pemadam kebakaran, respons masyarakat menjadi lambat dan tidak optimal.

Baca Juga: Gawat! Mobil Daus Mini Ditilang Polisi Lantaran Pakai TNKB Palsu dan Lampu Strobo, Sosiolog: Harusnya Integritas yang Dikedepankan

Karena itu, Djoko mengapresiasi langkah Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho yang mulai menertibkan penggunaan sirine dan strobo. Namun, ia menegaskan bahwa penertiban ini tidak boleh berhenti sebagai tindakan sementara.

Saat ini, penggunaan lampu strobo dan sirene di jalan untuk sementara waktu dihentikan. Keputusan ini diambil karena penggunaan alat tersebut sedang dalam tahap evaluasi menyeluruh.

“Masalah ini sudah menjadi kronis. Penertiban harus menjadi kebijakan permanen untuk mengembalikan ketertiban dan keadilan di jalan raya,” tegas Djoko.


Berita Terkait


News Update