POSKOTA.CO.ID - Di berbagai forum diskusi, baik daring maupun luring, perbandingan gaya belanja antara ibu dan ayah selalu menjadi topik hangat.
Unggahan di Instagram yang menyinggung hal ini pada akhir Juli 2025 kembali memantik perdebatan publik. Sebagian orang menganggapnya sekadar candaan ringan, namun di sisi lain, ada fakta serius tentang bagaimana peran gender memengaruhi cara seseorang mengatur keuangan.
Bukan sekadar stereotip, perbedaan ini menyimpan dinamika psikologis, pengalaman masa lalu, dan bahkan tekanan ekonomi yang nyata.
Ibu, dalam banyak kasus, dianggap lebih "hemat" dan "strategis" dalam mengatur pengeluaran keluarga. Lantas, apa yang sebenarnya melatarbelakangi fenomena ini?
Ibu Sebagai Manajer Keuangan Keluarga
Psikolog Ratna Yunita Setiyani Subardjo dari Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta menjelaskan, dalam struktur budaya Indonesia, ibu sering kali memegang kendali pengelolaan keuangan rumah tangga.
“Dalam banyak budaya, ibu sering kali berperan sebagai pengelola keuangan rumah tangga. Tugas inilah yang membuat mereka lebih cenderung berhemat dan teliti dalam mengatur belanja,” ujar Ratna.
Ibu biasanya bertanggung jawab untuk kebutuhan harian: belanja dapur, perlengkapan anak, hingga memastikan pengeluaran tidak melampaui pendapatan keluarga.
Sementara itu, ayah lebih sering dipersepsikan sebagai pencari nafkah utama, sehingga keputusan belanjanya sering kali bersifat lebih praktis dan instan.
Banyak ibu yang tumbuh dengan pengalaman menghadapi keterbatasan finansial di masa lalu. Pengalaman itu membentuk sikap hati-hati, bahkan cenderung irit, agar kesalahan atau kesulitan serupa tidak terulang.
Dari sisi psikologi perkembangan, ibu yang lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak akan lebih sensitif terhadap kebutuhan keluarga. Hal ini mendorong mereka untuk berpikir jangka panjang, bukan sekadar belanja sesaat.
“Ibu cenderung menghindari risiko keuangan yang tidak perlu sebab mengetahui kebutuhan pengelolaan rumah tangga dalam jangka panjang,” tambah Ratna.
Dalam masyarakat tradisional, pembagian peran antara ibu dan ayah sangat jelas. Ayah keluar rumah untuk mencari nafkah, sementara ibu mengatur dapur dan rumah tangga. Walaupun modernisasi membuat batas peran ini semakin cair, warisan budaya tetap melekat.
Ibu yang terbiasa "berburu diskon" atau mencari barang dengan harga miring, seakan melestarikan nilai kehematan sebagai kebajikan domestik. Sebaliknya, ayah yang cenderung membeli barang langsung tanpa banyak perbandingan harga dipandang lebih boros.
Realitas Ekonomi: Hidup di Masa Serba Mahal
Fenomena ini semakin relevan di tengah tekanan ekonomi global dan nasional. Harga kebutuhan pokok melonjak, sementara pendapatan banyak keluarga stagnan. Dalam kondisi seperti ini, peran ibu sebagai pengelola keuangan menjadi kian krusial.
"Ekonomi lagi berat, bisa apa selain berhemat?" kalimat yang muncul dalam berbagai artikel ekonomi bukan sekadar retorika, tetapi cermin realitas sehari-hari. Ibu menjadi garda depan dalam memastikan keluarga tetap bertahan.
Studi Kasus: Belanja Minimarket ala Ayah vs. Belanja Pasar ala Ibu
Fenomena yang viral di Instagram mencerminkan realitas:
- Ayah ke minimarket: pulang dengan struk Rp200 ribu, namun hanya membawa dua barang yang dianggap penting atau premium.
- Ibu ke pasar tradisional: dengan Rp100 ribu bisa membawa pulang satu kantong penuh sayur, lauk, dan kebutuhan pokok.
Hal ini bukan berarti ayah selalu boros, melainkan cara belanja yang berbeda. Minimarket cenderung menawarkan kenyamanan dan produk instan dengan harga lebih tinggi, sementara ibu terbiasa mencari alternatif di pasar tradisional yang lebih ekonomis.
Dari pengalaman banyak keluarga, fenomena ini sering kali menghadirkan humor sekaligus pelajaran. Seorang ibu rumah tangga di Bandung, misalnya, mengaku sengaja menyimpan uang kembalian receh agar bisa dikumpulkan untuk belanja bulanan. Sementara itu, suaminya merasa lebih praktis membeli barang sekalian dalam jumlah besar meski lebih mahal.
Perspektif ini menunjukkan bahwa yang dianggap "pelit" oleh sebagian orang, justru merupakan bentuk strategi bertahan hidup. Di sisi lain, gaya belanja ayah mencerminkan kebutuhan praktis dan efisiensi waktu.
Baca Juga: Novel Baswedan Sebut Pelaku Penjarahan Harus Ditindak: Tapi Jangan Lupa dengan Pejabat yang Korupsi
Tidak Semua Keluarga Sama
Penting untuk dicatat, fenomena ini tidak bisa digeneralisasi. Ada ayah yang sangat hemat, bahkan lebih teliti dari ibu. Ada pula ibu yang konsumtif dalam belanja daring. Perilaku finansial dipengaruhi oleh kepribadian, latar belakang pendidikan, dan nilai keluarga, bukan sekadar jenis kelamin.
“Semakin pelit, maka semakin kita belajar bahwa uang tak mudah didapatkan sehingga memang perlu digunakan dengan hati-hati,” tegas Ratna.
Fenomena ibu yang lebih irit dibanding ayah bukan sekadar gurauan media sosial, melainkan cerminan peran, pengalaman, dan budaya yang membentuk perilaku keuangan keluarga.
Di tengah kondisi ekonomi yang semakin menantang, strategi hemat yang diterapkan ibu layak diapresiasi. Namun, penting juga untuk melihat bahwa setiap keluarga memiliki dinamika berbeda.
Ibu atau ayah bisa sama-sama bijak dalam mengatur keuangan, selama ada kesadaran bahwa uang adalah sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan hati-hati.
Fenomena ini akhirnya mengajarkan kita bahwa hemat bukanlah sifat bawaan, melainkan keterampilan hidup yang bisa dipelajari siapa saja.