Film Animasi Terburuk dengan Rating 1.0, Sutradara Merah Putih One For All, Endiarto Justru Berencana Garap Sekuel Tahunan

Kamis 21 Agu 2025, 15:13 WIB
Terlepas dari segala kontroversi dan minimnya apresiasi penonton, Sutradara film animasi Merah Putih One For All dipastikan akan memiliki sekuel. (Sumber: YouTube/dr. Richard Lee, MARS)

Terlepas dari segala kontroversi dan minimnya apresiasi penonton, Sutradara film animasi Merah Putih One For All dipastikan akan memiliki sekuel. (Sumber: YouTube/dr. Richard Lee, MARS)

POSKOTA.CO.ID - Film animasi nasional, yang diharapkan menjadi kebanggaan di momen hari kemerdekaan, justru menemui kenyataan pahit di box office. Film animasi nasional, Merah Putih One For All tengah ramai diperbincangkan publik sejak tayang perdana pada 14 Agustus 2025.

Namun, gelombang pembicaraan yang menyertainya bukanlah berupa pujian atau apresiasi, melainkan sorotan kritis yang menusuk berbagai aspek fundamental dari karya tersebut.

Alih-alih menyambut karya anak bangsa dengan suka cita, masyarakat justru menyampaikan kekecewaan mereka secara terbuka.

Sayangnya, alih-alih mendapat apresiasi dari masyarakat, film ini justru menuai kritik tajam terkait kualitas visual, alur cerita, hingga musik latar.

Baca Juga: Dari Donat Hingga Pisang Goreng: Pinkan Mambo Kembali Viral dengan Harga Jual Tak Masuk Akal, Rp200 Ribu untuk 6 Potong

Badai kritik ini dengan segera terefleksi dalam angka dan data yang tidak bisa dipungkiri. Pada platform penilaian film internasional, catatannya bahkan termasuk yang terburuk.

Bahkan, di situs ulasan IMDb, film ini hanya mengantongi rating 1.0/10, menjadi salah satu yang terendah di antara film layar lebar yang sedang tayang.

Gelombang Kritik dan Respons Publik

Film animasi 'Merah Putih One For All' yang menunai kritikan warganet. (Sumber: YouTube/CGV Kreasi)

Sejak peluncurannya, film ini bukannya menuai pujian, melainkan dibombardir dengan berbagai kritik dari para penonton dan kritikus.

Keluhan utama berpusat pada tiga aspek fundamental: kualitas visual yang dinilai di bawah standar, alur cerita yang dianggap lemah dan tidak mengalir, serta musik latar yang dianggap tidak mendukung suasana film. Kritik-kritik ini dengan cepat terefleksi dalam penilaian di platform internasional.

Bahkan, di situs ulasan IMDb, film ini hanya mengantongi rating 1.0/10, menjadi salah satu yang terendah di antara film layar lebar yang sedang tayang.

Realitas pahit juga terlihat dari data penjualan tiket. Jumlah penonton pun terbilang sedikit. Hingga 18 Agustus 2025 atau 5 hari setelah awal penayangan, film ini baru ditonton oleh sekitar 2.276 penonton.

Angka ini sangat kecil untuk sebuah film animasi nasional yang diluncurkan bertepatan dengan momentum Hari Kemerdekaan.

Baca Juga: Drama Hasil Negatif Tes DNA Lisa Mariana dan Ridwan Kamil Belum Usai: Kini LM Ancam Beberkan Kasus RK

Optimisme di Tengah Badai

Namun, di balik semua tanggapan negatif tersebut, sang sutradara dan eksekutif produser Merah Putih One For All, Endiarto, menunjukkan sikap yang justru bertolak belakang dengan kondisi aktual.

Alih-alih menyerah, ia menyatakan optimisme dan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap waralaba film ini.

Dalam acara podcast bersama dr. Richard Lee di kanal YouTube, ia menegaskan bahwa Merah Putih One For All tidak akan berhenti pada satu judul saja.

Pernyataannya ini mengindikasikan bahwa rencana untuk melanjutkan film ini telah matang, terlepas dari respons pasar yang sangat dingin.

Baca Juga: Chikita Meidy Tampilkan Bukti Perselingkuhan Suami, Perceraian Kian Memanas

Sebuah Eksperimen Berani atau Langkah Nekat?

Komitmen Endiarto untuk terus melanjutkan proyek ini menghadirkan pertanyaan besar tentang strategi dan visinya. Rencana untuk menghadirkan sekuel setiap tahun merupakan sebuah langkah yang belum pernah dilakukan secara konsisten untuk film animasi Indonesia.

Terlepas dari segala kritik dan kontroversi, langkah Endiarto menghadirkan Merah Putih One for All setiap tahun menjadi sebuah eksperimen besar di dunia perfilman Indonesia.

Beberapa pengamat mempertanyakan sustainability (keberlanjutan) model bisnis ini, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk keteguhan hati untuk membangun sebuah franchise animasi lokal secara mandiri, meski harus melalui jalan terjal.

Apakah ini merupakan visi jangka panjang yang berani untuk membangun ikon animasi Indonesia, atau sebuah ambisi yang tidak memperhatikan suara penonton? Hanya waktu yang dapat menjawabnya.

Yang pasti, pernyataan Endiarto telah membuat publik kembali menunggu: apakah sekuel berikutnya akan mampu membalikkan keadaan dan menjawab semua kritik, atau justru akan mengulangi kesalahan yang sama.


Berita Terkait


News Update