Tom Lembong menyampaikan kekecewaannya atas vonis tersebut. Ia menegaskan bahwa kebijakan yang diambilnya bertujuan untuk menjaga stabilitas pasokan gula dan dilakukan dalam kerangka administratif, bukan koruptif.
Pernyataan resmi tim hukumnya juga menyebutkan bahwa banyak bukti dan saksi ahli yang tidak dijadikan pertimbangan utama oleh hakim. Mereka berencana mengajukan banding, dengan argumen bahwa mekanisme lintas kementerian saat itu tidak berjalan optimal, sehingga tindakan Tom dianggap adaptif terhadap situasi krisis.
Baca Juga: 10 Rekomendasi HP Baru 3 Jutaan Agustus 2025 yang Wajib Dipertimbangkan, Jangan Sampai Salah Pilih!
Abolisi Presiden Prabowo: Kebijakan yang Menggugah Pro dan Kontra
Pada 1 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah mengejutkan dengan memberikan pengampunan atau abolisi terhadap Tom Lembong. Dalam penjelasan Sekretariat Presiden, abolisi ini merupakan bentuk penghormatan terhadap rekam jejak bersih Tom dan upaya rekonsiliasi nasional yang lebih luas.
Abolisi bukan hanya keputusan hukum, tapi juga isyarat politik. Ini membuka perdebatan publik: apakah abolisi melemahkan pemberantasan korupsi, atau justru memberi ruang bagi keadilan restoratif dalam kasus yang sarat dimensi administratif?
Kasus Tom Lembong menyoroti dilema abadi di tubuh birokrasi Indonesia: saat seorang pejabat publik dihadapkan pada kebutuhan mengambil keputusan cepat, tapi harus melewati prosedur lintas kementerian yang lamban dan tumpang tindih.
Ini bukan kasus pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Namun, dari kacamata publik, transparansi dan akuntabilitas tetap menjadi hal utama. Ketika pejabat berani mengambil kebijakan tanpa pelanggaran moral dan finansial, publik perlu membedakan antara kesalahan prosedural dan kesengajaan kriminal.
Kasus Tom Lembong lebih dari sekadar polemik impor gula. Ini adalah cermin dari problematika sistem pemerintahan: tarik menarik antara kecepatan eksekusi kebijakan dan kepatuhan administratif.
Abolisi oleh Presiden Prabowo bukan hanya soal membebaskan satu orang, melainkan juga pesan bahwa negara sedang mencari jalan tengah antara hukum yang tegas dan kebijakan yang manusiawi. Namun, agar tidak menjadi preseden buruk, kebijakan seperti ini harus dibarengi penguatan sistem birokrasi dan transparansi yang lebih kokoh.