POSKOTA.CO.ID - Kekuatan seorang figur publik tidak hanya terletak pada pencapaiannya, melainkan juga pada kata-katanya. Timothy Ronald adalah contoh nyata bagaimana satu kalimat bisa mengundang gelombang reaksi.
Terkenal sebagai content creator, edukator keuangan, dan investor kripto, Timothy kerap tampil percaya diri, dengan gaya bicara yang tajam dan tanpa kompromi.
Namun, keberaniannya menyuarakan opini sering kali dinilai melampaui batas kesantunan publik. Alih-alih membuka ruang diskusi sehat, beberapa pernyataannya justru menyulut kemarahan dari berbagai kalangan. Lalu, bagaimana publik menyikapi hal ini? Dan sampai di mana batas antara kebebasan berbicara dan tanggung jawab sosial seorang tokoh publik?
Baca Juga: Link Resmi Cek Bansos PKH BPNT 2025 dari Hp, Cair Empat Kali Setahun
1. Menghina Aktivitas Nge-Gym: Ketika Olahraga Dianggap "Bodoh"
Salah satu video viral menampilkan Timothy menyebut kegiatan nge-gym sebagai “aktivitas paling goblok”. Ia bahkan menyiratkan bahwa orang yang terlalu serius membentuk tubuh di pusat kebugaran cenderung tidak cerdas.
“Orang yang suka nge-gym sampai badannya jadi banget, itu gak mungkin sepintar itu,” ucapnya dalam video yang ramai dibagikan di Instagram @lambe_turah pada 31 Juli 2025.
Pernyataan ini menyulut kemarahan dari komunitas pecinta kebugaran, pelatih pribadi, dan influencer olahraga. Banyak yang merasa ucapan tersebut merendahkan gaya hidup sehat dan mengabaikan fakta bahwa olahraga memiliki manfaat fisik dan mental yang sangat besar.
Olahraga bukan sekadar rutinitas fisik. Bagi banyak orang, fitness adalah bentuk perawatan diri, disiplin, bahkan terapi mental. Menyederhanakannya hanya sebagai aktivitas "bodoh" bisa menunjukkan kurangnya empati terhadap upaya orang lain menjaga kesehatan.
2. Menyebut Orang Miskin Penakut: Antara Realita dan Generalisasi
Dalam wawancara lain, Timothy menyebut bahwa “orang miskin itu penakut” karena dianggap tidak berani mengambil risiko dalam hidup dan bisnis. Pernyataan ini memantik gelombang protes luas.
Banyak pihak menganggap ucapannya sebagai bentuk generalisasi yang tidak adil terhadap mereka yang berada dalam situasi ekonomi sulit.
Ketakutan mengambil risiko bukan semata karakter pribadi, tapi bisa jadi refleksi atas trauma, beban keluarga, keterbatasan akses, dan tekanan hidup yang nyata. Menilai keberanian hanya dari hasil akhir mengabaikan perjuangan manusia dalam menghadapi ketimpangan sistemik.