“Kita tak bisa mengalahkan kematian, hanya menundanya.”
Pernyataannya menggarisbawahi bahwa tak ada teknologi, diet, atau suplemen yang bisa menghapus fakta biologis manusia: kita akan menua, dan akhirnya mati.
Industri Longevity: Mewah, Populer, tapi Tak Terbukti?
Meningkatnya ketertarikan publik pada longevity menyebabkan munculnya pasar produk anti-aging dengan harga fantastis. Cold chamber senilai Rp 700 juta, suplemen NAD+, hingga layanan transfusi plasma dari donor muda menjadi tren.
Sayangnya, sebagian besar dari metode ini belum memiliki bukti ilmiah kuat yang mendukung efektivitasnya. Banyak ahli mengkhawatirkan bahwa masyarakat justru jadi korban pemasaran yang mengeksploitasi ketakutan terhadap kematian.
Burnout atau Reorientasi?
Dalam salah satu wawancaranya, Johnson menyatakan kelelahan:
“Ini menyebalkan.”
Ia mengaku bahwa menjaga disiplin tingkat tinggi secara terus-menerus melelahkan secara emosional dan fisik. Kini beredar rumor bahwa Johnson akan memfokuskan diri ke penelitian sel punca di Islandia—suatu arah baru yang mungkin lebih menyentuh akar masalah biologis manusia.
Apakah ini tanda burnout? Atau reorientasi strategis menuju pendekatan yang lebih ilmiah dan berdampak luas?
Baca Juga: Curanmor di Tambora Jakbar, Pelaku Ternyata DPO Kasus Pembunuhan
Don't Die: Dari Parodi ke Refleksi
Sebagai bentuk introspeksi dan humor gelap, Bryan Johnson meluncurkan kampanye “Don’t Die”, menyindir dirinya sendiri dan masyarakat yang terobsesi dengan hidup abadi. Dalam podcast Lex Fridman, ia berkata:
“Aku sudah menerima bahwa suatu hari nanti akan mati. Tapi bukan hari ini.”
Pernyataan ini menyiratkan bahwa di balik kecanggihan teknologi dan miliaran dolar investasi, tetap ada pengakuan jujur bahwa hidup adalah perjalanan sementara. Kampanye ini seolah mengajak kita bercermin: Apakah kita sedang memperjuangkan hidup panjang, atau takut menjalani hidup yang sesungguhnya?