POSKOTA.CO.ID - Jakarta, penghujung tahun 2006. Hujan malam turun tipis membasahi gang-gang sempit kawasan Tanah Abang. Dua truk boks berhenti di depan rumah petak tua, menurunkan sekelompok lelaki berwajah keras, sebagian bertato, sebagian lainnya menyimpan badik dalam tas ransel.
Di antara mereka, seorang pria bertelanjang dada dengan tato badik menyilang di dadanya turun lebih dulu. Namanya Daeng Malik, preman asal Makassar yang baru saja keluar dari Lapas Gunung Sari.
Dengan catatan hitam delapan kasus pengeroyokan, tiga pembunuhan, dan satu penusukan perwira polisi, kehadirannya di Tanah Abang adalah pertanda badai. Ia melihat Tanah Abang bukan hanya pasar, tetapi tambang emas yang lama tak bertuan sejak sang legenda, Hercules, menghilang awal tahun 2000-an.
Namun, untuk merebut tanah ini, Daeng Malik tahu bahwa uang saja tak cukup. Hanya ada satu kata yang dipahami olehnya, teror.
Baca Juga: Diancam Mobilnya Dibakar, Pria di Bekasi Lapor Polisi
Langkah Pertama: Teror dan Intimidasi
Tak lama setelah menetap, anak buah Daeng Malik mulai bergerak. Seorang preman Betawi senior, Omen, dihajar hingga patah tangan karena menolak setor uang keamanan.
Videonya disebar ke lapak-lapak dan warung kopi. Pesan singkatnya: "Yang pegang wilayah ini sekarang Daeng Malik. Melawan? Siap jadi bangkai."
Hari berikutnya, seorang preman Sunda, Ujang, diserang di depan umum. Pipinya disayat cutter, mulutnya disumpal kain bau solar.
Pedagang dan pemilik toko mulai gelisah, menyuap agar tak jadi target. Anak-anak Ambon yang dulu menjaga toko sepatu juga ikut resah.
Namun, bagi Daeng Malik, ini baru awal. Dalam satu malam, ia kumpulkan anak buahnya, berdiri di atas mobil pick-up dengan badik masih berlumur darah.
"Beta datang bukan untuk rebut jatah. Beta datang untuk kuasai semua," katanya datar. Suaranya justru semakin menakutkan.