Satu aspek lain yang kerap memicu perdebatan adalah nomenklatur bahasa Betawi. Ketika ditanya soal bahasa, banyak penduduk di luar Jakarta pada dekade 1970-an lebih sering menyebutnya sebagai Bahasa Melayu dengan beragam label: Melayu Ora, Melayu Buset, Melayu Kasar, hingga Melayu Jakarta. Sementara, penduduk Jakarta sendiri umumnya menamakan bahasa tersebut sebagai Bahasa Jakarta.
Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Betawi merupakan hasil proses kreolisasi yang memadukan unsur Melayu pasar (Melayu Rendah), Sunda, Jawa, dan kosakata asing seperti Portugis serta Belanda. Oleh karena itu, menyebut Betawi sebagai “Melayu” secara etnis semata-mata atas dasar bahasa akan menyesatkan pemahaman historis dan sosiolinguistiknya.
Realitas sejarah Jakarta menunjukkan bahwa Betawi bukanlah suku Melayu dalam arti etnis murni. Betawi adalah hasil sintesis budaya multietnis yang dimelayikkan secara administratif oleh Belanda, kemudian dikokohkan sebagai identitas etnis tersendiri melalui kebangkitan kebudayaan populer pada era modern.
Memahami asal-usul Betawi menuntut keterbukaan pada fakta sejarah pembauran, alih-alih klaim simplistik bahwa “Betawi adalah Melayu.” Identitas Betawi tumbuh melalui interaksi kompleks yang mencerminkan keberagaman warisan Nusantara.