Mengajarkan hormat memang penting, tapi jika digunakan sebagai alat kendali tanpa teladan yang baik, justru menjadi racun.
Anak akan bingung membedakan antara otoritas yang sehat dan penyalahgunaan kekuasaan. Kata-kata ini seolah melegitimasi perilaku buruk hanya karena faktor usia.
“Lakukan saja, kalau tidak…”
Ancaman terbuka semacam ini menghapus ruang dialog antara orang tua dan anak. Anak tidak lagi merasa punya hak memilih atau menyampaikan pendapat. Mereka hanya jadi objek yang harus patuh tanpa hak untuk bertanya atau menolak.
“Kamu nggak bisa olahraga!”
Ganti kata olahraga dengan apapun—menari, menggambar, atau menyanyi. Kalimat ini membuat anak meragukan kemampuannya sendiri. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang takut mencoba atau mengekspresikan diri karena takut gagal atau diejek.
“Kamu murid paling jelek!”
Tak ada yang suka dibanding-bandingkan, apalagi oleh orang tua sendiri. Ketika orang tua menyatakan bahwa anak adalah yang ‘terburuk’, itu bukan hanya menghancurkan semangat, tapi juga memperkuat pikiran negatif yang mungkin sudah ada di dalam diri anak.
“Ucapan seperti ini bisa menjadi konfirmasi atas keyakinan bahwa diri mereka memang tidak layak, tidak cukup baik.”
Mengapa Ucapan Ini Berbahaya?
Semua contoh di atas bukan sekadar komentar pedas, tapi masuk kategori kekerasan verbal. Ketika diulang dan digunakan sebagai alat kontrol, itu menjadi bentuk verbal abuse, perlakuan yang merusak psikologis korban secara perlahan tapi pasti.
Sebagai masyarakat, kita perlu lebih peka terhadap pola komunikasi dalam keluarga. Anak bukan hanya perlu diberi makan dan tempat tinggal. Mereka butuh didengar, dihargai, dan diperlakukan dengan kasih sayang.
Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami perlakuan serupa, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.
Tidak ada salahnya meminta pertolongan, karena setiap anak berhak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat, aman, dan penuh cinta.