JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pada awal dekade 2000-an, kemacetan di Jakarta sudah mencapai titik krisis.
Pemprov Jakarta dihadapkan pada tekanan publik untuk menyediakan sistem transportasi massal yang modern dan efisien.
Saat itu, Jakarta belum memiliki moda transportasi rel dalam kota selain KRL Jabodetabek, yang juga belum seefisien sekarang.
Di tengah kondisi tersebut, muncul gagasan untuk membangun sistem monorel — kereta berbasis rel tunggal yang berjalan di atas permukaan jalan melalui jalur melayang.
Sistem ini dianggap sebagai solusi cepat dan canggih, yang tidak akan terganggu oleh kepadatan lalu lintas di bawahnya.
Baca Juga: Pramono Anung Ancam Bongkar Paksa Tiang Monorel jika Adhi Karya Tak Bertindak
Dicanangkan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di 2003
Proyek monorel resmi dicanangkan pada tahun 2003, di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso (menjabat 1997–2007). Sutiyoso dikenal sebagai pemimpin yang ambisius dalam membangun citra Jakarta sebagai kota metropolitan yang modern.
Visi Sutiyoso adalah menghadirkan dua jalur utama monorel:
1. Green Line: 14,3 km
Dimulai dari stasiun monorel di Casablanca, melewati kawasan sekitar Hotel Gran Melia, Satria Mandala, Kusuma Chandra, Polda Metro Jaya, BEJ, Gelora Bung Karno Senayan, Plaza Senayan, JHCC, gedung MPR/DPR, Taman Ria Senayan, gedung MPR/DPR, Pejompongan, Karet, Sudirman, Setiabudi Utara, Kuningan, Taman Rasuna, kembali ke Stasiun Casablanca.
2. Blue Line: 12,7 km
Dimulai dari Kampung Melayu, melewati kawasan Tebet, Menteng Dalam, Stasiun Casablanca, Ambasador, Stasiun Dharmala Sakti, Menara Batavia, Karet, kawasan Slipi, Cideng, dan berakhir di kawasan Roxy.
Pembangunan diberikan kepada pihak swasta, yaitu PT Jakarta Monorail (JM) sebuah konsorsium antara perusahaan dalam dan luar negeri. Pemerintah saat itu mengklaim bahwa proyek ini tidak akan menggunakan dana APBD dan murni dibiayai swasta melalui skema Build-Operate-Transfer (BOT).