Pimpinan PBNU Rangkap Jabatan di Tambang Nikel Raja Ampat, Aktivis Soroti Potensi Konflik Kepentingan

Senin 09 Jun 2025, 12:20 WIB
Ilustrasi Raja Ampat (Sumber: Pinterest)

Ilustrasi Raja Ampat (Sumber: Pinterest)

POSKOTA.CO.ID - Sorotan tajam datang dari aktivis lingkungan Roy Murtadho yang mempertanyakan integritas etis salah satu pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH.

Abdul Fahrur Rozi atau yang lebih dikenal sebagai Gus Fahrur. Kritik ini mencuat setelah diketahui bahwa Gus Fahrur menjabat sebagai komisaris di PT Gag Nikel, sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan sensitif Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Menurut Roy, posisi tersebut menimbulkan ketidakselarasan dengan prinsip yang selama ini dijunjung tinggi oleh PBNU, yakni "Merawat Jagat, Membangun Peradaban."

Dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan melalui akun media sosialnya @MurtadhoRoy pada 9 Juni 2025, Roy menekankan bahwa keberadaan Gus Fahrur di perusahaan tambang nikel dapat mencederai kredibilitas PBNU sebagai institusi keagamaan yang semestinya berdiri di garda depan pelestarian lingkungan.

“Salah seorang pimpinan PBNU, Gus Fahrur jadi komisaris PT Gag Nikel yang merusak ekosistem Raja Ampat Papua. Bukannya ini bertentangan dengan tagline PBNU hari ini, Merawat jagat membangun peradaban?” ujar Roy.

Baca Juga: Israel Tangkap Kapal Madleen: Greta Thunberg dan Aktivis Dunia Ditahan Saat Bawa Bantuan ke Gaza

Kontradiksi Nilai-Nilai Luhur dan Praktik Ekstraktif

Roy menggarisbawahi bahwa ketidaksesuaian antara peran religius dan posisi korporasi dalam sektor ekstraktif bukan sekadar persoalan moral pribadi, melainkan cerminan dari kontradiksi struktural dalam tubuh PBNU itu sendiri.

“Emang ada merawat jagat dengan merusak lingkungan?” sindir Roy, menyoroti inkonsistensi antara narasi teologis yang digaungkan dan keterlibatan langsung tokoh PBNU dalam industri tambang.

Sebagaimana diketahui, PT Gag Nikel adalah anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan telah lama menjadi sorotan dalam diskursus lingkungan karena beroperasi di wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi serta potensi ekowisata luar biasa, yakni Kepulauan Raja Ampat. Berbagai organisasi lingkungan telah mengkritik aktivitas pertambangan di kawasan tersebut sebagai ancaman terhadap ekosistem laut dan darat yang belum sepenuhnya tereksplorasi.

Kritik terhadap Keterlibatan PBNU dalam Industri Ekstraktif

Tak hanya menyoal personal Gus Fahrur, Roy juga memperluas kritiknya ke arah PBNU secara kelembagaan. Menurutnya, PBNU kini tengah menghadapi krisis konsistensi akibat keterlibatannya dalam industri ekstraktif yang menjadi kontributor utama emisi karbon global.

“Terus terang, PBNU sekarang ini banyak kontradiksi internal. Salah satunya, mau merawat jagat dan bangun peradaban, tapi nerima tambang batubara yang menyumbang 46 persen emisi karbon global. Ditambah sekarang salah satu pimpinannya jadi komisaris nikel,” jelas Roy.


Berita Terkait


News Update