Kritik ini mengarah pada kekhawatiran akan terjadinya transformasi ideologis di tubuh PBNU yang lebih pragmatis, terkooptasi kepentingan ekonomi, dan menjauh dari idealisme keberlanjutan ekologis. Dalam pandangan Roy, hal ini tidak hanya mencoreng nilai moral Islam, tetapi juga melemahkan posisi PBNU sebagai institusi yang dipercaya publik.
Isu Ekologis dan Spiritualitas Islam
Roy menekankan bahwa keterlibatan struktural PBNU dalam proyek industri ekstraktif dapat mengarah pada bentuk baru dari penjarahan alam, sebuah praktik yang sering dikritik dalam teori politik ekologi sebagai "akumulasi primitif."
"Ini namanya PBNU terlibat langsung dalam apropriasi atau penjarahan alam, perluasan geografi penghancuran ruang hidup, dan akumulasi primitif,” katanya.
Ia pun menyayangkan bahwa visi Islam sebagai agama yang menempatkan rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) tampak tidak menjadi acuan dalam kebijakan struktural PBNU.
"Ini secara prinsip bertentangan dengan visi Islam yang menyelamatkan,” tegas Roy.
Objektivitas dan Independensi dalam Ancaman
Lebih lanjut, Roy mempertanyakan apakah PBNU masih memiliki ruang objektif untuk mengkritisi aktivitas perusakan lingkungan, jika tokoh-tokohnya justru memiliki peran struktural dalam dunia korporasi tambang.
“So, apa iya PBNU akan bisa bersikap kritis dengan posisinya saat ini?” ujarnya retoris.
Pertanyaan ini mengandung kritik mendalam terhadap potensi hilangnya independensi PBNU sebagai moral voice dalam urusan publik, khususnya dalam menghadapi masalah lingkungan yang kian mendesak.
Dalam banyak konteks global, tokoh agama berperan besar dalam menggerakkan kesadaran kolektif terhadap pentingnya keberlanjutan ekosistem. Ketika tokoh tersebut justru berafiliasi dengan korporasi ekstraktif, kredibilitas mereka dipertaruhkan.
Tanggapan PBNU dan Gus Fahrur Masih Dinanti
Hingga artikel ini ditulis, baik PBNU maupun Gus Fahrur belum memberikan tanggapan resmi terhadap kritik yang dilayangkan oleh Roy Murtadho.
Keheningan ini turut memperkuat persepsi publik akan adanya konflik kepentingan di tubuh organisasi keagamaan tersebut.