POSKOTA.CO.ID - Praktik pinjaman online (pinjol) ilegal kembali mencuat setelah sebuah video dokumentasi viral memperlihatkan aksi brutal debt collector (DC) dalam menyebarkan data pribadi nasabah.
Video yang beredar luas di platform X (sebelumnya Twitter) ini memicu keprihatinan publik atas maraknya pelanggaran privasi dan intimidasi sistematis oleh oknum pinjol ilegal.
Dalam rekaman tersebut, terlihat jelas bagaimana DC tak hanya melakukan spam chat dan panggilan, tetapi juga memanipulasi data korban untuk dikirim ke seluruh kontak darurat.
Yang lebih mengkhawatirkan, modus ini ternyata telah berevolusi dari tahun ke tahun, menyesuaikan celah keamanan dan psikologis korban.
Baca Juga: Pinjol Bisa Sadap Data Meski Pakai HP Baru, Begini Cara Menghentikannya!
Berdasarkan penjelasan dari channel YouTube Tools Pinjol yang pertama kali mengangkat kasus ini menyebut, penyebaran data kini lebih terarah dibanding tahun 2020-2021 lalu.
"DC kini tak lagi menyebar data ke semua kontak, melainkan memilih nomor darurat atau riwayat panggilan untuk efek teror yang lebih maksimal," jelas narator dalam video tersebut.
Fakta ini memantik urgensi akan edukasi literasi digital dan perlindungan data yang lebih masif.
Modus Penyebaran Data yang Terus Berevolusi
Dalam video yang diunggah oleh channel YouTube Tools Pinjol, terlihat jelas bagaimana DC pinjol ilegal menggunakan berbagai cara untuk meneror nasabah:
- Spam Chat dan Panggilan: DC secara agresif mengirim pesan berulang hingga ratusan kali dalam hitungan menit.
- Penyebaran Data via Google Maps: Data korban seperti foto KTP dan informasi pribadi disebar melalui komentar di akun bisnis atau toko online di Google Maps, dengan lokasi yang disesuaikan berdasarkan alamat KTP korban.
- Doxing dan Fitnah: Foto korban diedit dan disebar ke nomor-nomor darurat atau kontak terdekat seperti keluarga, rekan kerja, atau teman, disertai narasi fitnah seperti "open donasi" atau tuduhan palsu.
Menariknya, modus operandi ini telah mengalami pergeseran. Jika di tahun 2020–2021 DC kerap menyebar data ke seluruh kontak korban, kini mereka lebih selektif dengan memprioritaskan nomor darurat, log panggilan, atau riwayat SMS untuk memaksimalkan tekanan psikologis.