Perang yang selalu terjadi memunculkan pertanyaan kritis, mengapa pandangan geopolitik Barat terus saja memicu konflik tiada henti dan berujung pada kontradiksi pokok antara kapitalisme dan komunisme?
Mengapa watak kolonialisme dan imperialisme melekat kuat dalam bangsa-bangsa berperadaban lebih maju yang terus mengikis habis bangsa-bangsa lain dengan peradaban yang lebih rendah?
Bukankah kolonialisme dan imperialisme tersebut mengakibatkan begitu banyak kesengsaraan terutama bagi bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin?
Dari berbagai pertanyaan kritis di atas, Bung Karno menegaskan pentingnya membangun kesadaran kebangsaan, suatu kesadaran yang dipicu oleh perasaan senasib sepenanggungan.
Perasaan ini dirasakan dan kemudian menyatu dalam kesadaran manusia Indonesia dengan tanah airnya. Karena itulah bagi Bung Karno, Bangsa Indonesia adalah satu bangsa dengan satu jiwa.
Bangsa Indonesia merupakan satu individualitet yang tumbuh bersama dalam kesatuan geografis yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
Dalam kesadaran spiritualnya, kesatupaduan antara manusia dan tanah airnya terjadi karena daya cipta Tuhan.
Tuhan yang Maha Esa telah menjadikan bangsa Indonesia terbentuk dalam posisinya di persilangan strategis yang terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Pasifik.
Dalam kesadaran kebangsaan ini, Sukarno terus menggali sejarah peradaban bangsa dan mensintesakan dengan sejarah peradaban dunia.
Atas dasar proses dialektik ini, maka ketika Bung Karno diminta pandangannya untuk menyampaikan falsafah dasar daripada Indonesia Merdeka, Bung Karno sekaligus memperkenalkan Pancasila sebagai weltanschauung, atau pandangan hidup bangsa Indonesia terhadap dunia.
Sebab Bung Karno melihat hasrat terdalam manusia Indonesia yang mendambakan hidup rukun, toleran, dan mampu mengelola berbagai perbedaan.
Dalam refleksi atas nilai-nilai kultural yang hidup itulah mengapa Pancasila lahir dengan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai taman-sarinya dunia.