Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan, namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi.
Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu; sedang orang kuatnya masih dalam gendongan. Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa merdeka padahal dijajah.
Kasihan bangsa yang alamnya indah, sawahnya hijau sepanjang masa, tapi banyak penjahat dan orang bodoh dan lugu dijadikan elite negara.
Kasihan bangsa yang hasil laut, tambang dan hutannya seperti sorga di dunia tapi banyak rakyatnya menderita karena kejujuran dan keadilan telah sirna.
Kasihan bangsa karena tempat-tempat ibadahnya penuh puja dan puji selalu menggema; dibangun dari hasil korupsi, sehingga para pencuri tertawa-tawa karena mereka bebas semaunya. Kasihan negara itu. Ya. Kasihan warganegaranya."
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Ekonomi Devisit Kesentosaan
Lalu, bagaimana agar bangsa itu tak terjerumus jadi bangsat; aparatnya tak jadi keparat; pejabatnya tak jadi penjahat? Tentu tak cukup bertobat. Terlebih, pengetahuan tidaklah cukup, kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup, kita harus melakukannya.
Kita memerlukan lompatan kesadaran dan proyeksi kecerdasan di atas rata-rata. Sebab, kini siapa yang berharap bahwa demokrasi liberal membawa kesejahteraan, mereka bermimpi. Siapa yang beriman bahwa arabisme membawa keadilan, mereka berkhayal. Siapa bersikeras bahwa neoliberalisme menciptakan kemandirian, mereka sedang mabok.
Demokrasi liberal, arabisme dan neoliberalisme ini setali tiga uang: candu dan nikotin kehidupan; penyakit kaum lemah nalar; janji para durja; alat penghisapan tersempurna.
Dengan trias-revolusi yang berdentum, kita wajib menjawab problema negara maling ini dengan membuat indeks kemakmuran negara-warga yang implementasinya terukur dan terstruktur. Makmur karena sembilan kategori (kebebasan, kesehatan, pendidikan, lingkungan, lapangan kerja, kesejahteraan, sosialitas, kemerataan dan kemandirian) berada pada ekuitas dan likuiditas terbaik.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Dari Reformasi Personal ke Revolusi Struktural
Indeks kemakmuran dengan demikian adalah hitungan keadaan di mana kita mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier dengan mudah. Kemakmuran berarti mendapatkan semua kebutuhan tersebut tanpa adanya tekanan; kita mampu mengatur keadaan finansial, waktu dan tenaganya; memiliki waktu untuk bersosialisasi, menjalankan hobi dan rekreasi. Jika hidup makmur maka kita akan lebih mudah dalam meraih kebahagiaan dan kesenangan hidup.
