Ia menjelaskan, standar keselamatan bangunan gedung di Jakarta mengacu pada sejumlah regulasi, antara lain PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 72 Tahun 2021 tentang Persyaratan Teknis Sarana Penyelamatan Jiwa, Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait proteksi kebakaran, serta ketentuan teknis lainnya yang berlaku pada saat proses penerbitan IMB atau PBG.
Menurut Vera, secara prinsip setiap bangunan gedung harus memiliki sistem proteksi kebakaran yang memadai. Sistem tersebut mencakup proteksi aktif seperti alat pemadam api ringan (APAR), alarm kebakaran, hidran, dan detektor.
Selain itu, kata dia, bangunan juga wajib dilengkapi dengan sistem proteksi pasif, antara lain penggunaan material tahan api dan penerapan kompartemenisasi untuk mencegah penyebaran api.
"(Bangunan juga harus memiliki) Akses dan jalur evakuasi yang aman dan jelas serta pengelolaan keselamatan oleh pemilik atau pengelola, termasuk pelatihan evakuasi," ujarnya.
Terkait pengawasan, Vera menyebut, pengawasan bangunan pada dasarnya dilakukan pada dua tahap utama, yakni saat proses pembangunan berlangsung dan ketika bangunan akan mulai digunakan.
"Contoh, mengecek sprinkler benar-benar keluar airnya, tangga darurat clear, dan lain-lain," ucapnya.
Selain itu, Vera mengatakan, Citata Jakarta juga melakukan pengawasan secara sampling terhadap bangunan-bangunan yang diperkirakan tidak menggunakan SLF sesuai dengan peruntukannya.
"Saat ini kami sedang menyusun metode atau prosedur pengawasan yang lebih efektif bagi seluruh bangunan, mengingat tidak seimbangnya jumlah bangunan yang ada dengan SDM bagian pengawasan," ungkap dia. (cr-4)
